Pernahkah Mams mendengar istilah Toxic Epidermal Necrolysis atau nekrolisis epidermal toksik (TEN)? Meski tergolong langka, kondisi ini sangat serius dan bisa mengancam nyawa. Gejalanya menyerupai luka bakar, kulit melepuh, mengelupas, dan terasa sangat perih. Biasanya, TEN muncul setelah seseorang mengonsumsi obat tertentu. Anak-anak, lansia, dan individu dengan penyakit tertentu merupakan kelompok yang lebih rentan mengalami kondisi ini.
Karena kemunculannya yang menyerupai infeksi kulit atau alergi biasa, banyak kasus TEN tidak terdeteksi sejak dini. Padahal, Toxic Epidermal Necrolysis adalah kondisi darurat medis yang memerlukan penanganan segera di rumah sakit. Semakin cepat didiagnosis dan ditangani, semakin besar pula peluang pasien untuk pulih. Di artikel ini, kita akan membahas secara lengkap penyebab TEN, gejala awal yang perlu diwaspadai, dan strategi penanganan medis yang efektif.
Apa Itu Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)?
Toxic Epidermal Necrolysis adalah kondisi reaksi kulit berat yang dipicu oleh reaksi hipersensitivitas tubuh terhadap obat-obatan. Dalam dunia medis Indonesia, TEN juga dikenal sebagai Nekrolisis Toksik Epidermal (NTE). Berbeda dari alergi kulit biasa, TEN menyebabkan pengelupasan kulit secara luas, bahkan bisa mencapai lebih dari 30% permukaan tubuh. Hal ini membuatnya menyerupai luka bakar derajat tinggi.
TEN sering kali dikaitkan atau dianggap sama dengan Stevens-Johnson Syndrome (SJS). Padahal, keduanya memiliki tingkat keparahan yang berbeda. Jika SJS tergolong ringan hingga sedang, TEN merupakan bentuk yang jauh lebih parah. Gejala awalnya bisa berupa demam dan gejala mirip flu, yang kemudian berkembang menjadi ruam merah menyebar, lepuh, dan pengelupasan kulit. Jika tidak ditangani segera, kondisi ini bisa menyebabkan komplikasi serius hingga kematian.
Orang dengan riwayat konsumsi obat tertentu seperti antibiotik, antikonvulsan (obat epilepsi), atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) sangat berisiko mengalami TEN. Penderita HIV, lupus, dan orang dengan riwayat alergi obat juga masuk kategori berisiko tinggi. Selain itu, faktor usia dan genetik turut berperan dalam meningkatkan kemungkinan seseorang terkena TEN.
Bagaimana Diagnosis TEN Dilakukan dan Mengapa Sering Terlambat?
Diagnosis TEN umumnya dimulai dari pengamatan gejala klinis seperti lepuh luas dan pengelupasan kulit. Salah satu uji yang digunakan adalah tes Nikolsky, yaitu saat kulit terkelupas bila digesek ringan. Untuk memastikan, dokter akan melakukan biopsi kulit. Sayangnya, karena gejala awalnya menyerupai flu atau ruam biasa, banyak pasien baru datang ke rumah sakit saat kondisinya sudah memburuk.
Untuk menilai tingkat keparahan TEN, dokter menggunakan sistem skor yang disebut SCORTEN. Sistem ini menghitung tujuh faktor medis seperti usia, detak jantung, kadar urea, dan keterlibatan kulit. Semakin tinggi nilainya, semakin tinggi pula risiko kematian. SCORTEN sangat penting dalam menentukan langkah perawatan intensif seperti apakah pasien perlu masuk ICU atau burn unit.
Agar tidak terlambat, penting bagi Mams untuk mengenali tanda-tanda awal seperti demam tinggi, nyeri pada kulit, dan munculnya ruam yang cepat menyebar. Waspadai pula jika muncul luka di area mulut, mata, atau alat kelamin. Bila gejala tersebut muncul setelah mengonsumsi obat dalam 1–2 minggu terakhir, segera cari bantuan medis. Deteksi dan penanganan cepat sangat berpengaruh terhadap keselamatan pasien.
Penyebab Obat Tertentu Pemicu TEN
Sebagian besar kasus TEN dipicu oleh reaksi tubuh terhadap obat. Mekanismenya adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV, di mana sistem imun menyerang sel-sel kulit sehat karena salah mengenali obat sebagai ancaman. Reaksi ini biasanya muncul dalam beberapa hari setelah obat dikonsumsi dan bisa memburuk dengan cepat.
Salah satu zat utama yang menyebabkan kerusakan kulit pada pasien TEN adalah granulysin. Zat ini dilepaskan oleh sel T dan menyerang langsung sel epidermis, menyebabkan lepuhan dan pengelupasan luas. Menurut Biomedicines, granulysin memiliki efek destruktif yang lebih besar dibanding zat toksik lainnya seperti granzim atau perforin. Pemahaman ini bisa membuka peluang untuk terapi yang lebih spesifik dan efektif di masa mendatang.
Selain obat, faktor genetik juga sangat berpengaruh. Genetik HLA-B*1502, misalnya, terbukti meningkatkan risiko TEN, khususnya pada populasi Asia. Gen ini membuat tubuh lebih sensitif terhadap obat tertentu seperti karbamazepin. Beberapa negara bahkan sudah menerapkan tes genetik sebelum meresepkan obat-obatan berisiko tinggi tersebut, sebagai langkah pencegahan yang sangat krusial.
Bagaimana Penanganan TEN yang Efektif dan Mengapa ICU Sangat Penting?
Karena TEN menyerupai luka bakar berat, penanganannya membutuhkan fasilitas khusus seperti ICU atau burn unit. Fokus utama perawatan adalah menjaga keseimbangan cairan tubuh, mengendalikan rasa nyeri, mencegah infeksi, dan merawat luka terbuka secara intensif. Jika penanganan dilakukan dengan baik dan cepat, kemungkinan pemulihan akan jauh lebih baik.
Beberapa terapi tambahan sering digunakan, seperti IVIG (Intravenous Immunoglobulin), ciclosporin, dan plasmapheresis. Di antara ketiganya, ciclosporin menunjukkan hasil paling menjanjikan dalam menurunkan angka kematian. Sedangkan efektivitas IVIG dan plasmapheresis masih diperdebatkan. Namun perlu diingat, terapi obat hanya bersifat pendukung. Perawatan intensif di ICU tetap menjadi penentu utama keberhasilan pengobatan.
Peran keluarga juga tidak kalah penting, terutama dalam deteksi awal. Jika Mams mengetahui adanya konsumsi obat dalam dua minggu terakhir dan pasien menunjukkan gejala ruam luas, lepuh, atau luka di mulut dan mata, segera bawa ke IGD. Dokumentasikan nama obat yang dikonsumsi agar dokter bisa lebih cepat melakukan evaluasi. Penanganan yang cepat bisa menyelamatkan nyawa.
A Word From Navila
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) adalah kondisi yang langka, tapi dampaknya bisa sangat serius. Reaksi ekstrem terhadap obat-obatan ini bisa menyebabkan kerusakan kulit luas seperti luka bakar dan berkembang dengan sangat cepat. Karena itu, deteksi dini sangat krusial. Bila Mams atau anggota keluarga mengalami ruam menyebar, kulit melepuh, atau mengelupas setelah minum obat, jangan tunggu, segera cari pertolongan medis sebelum kondisinya memburuk.
Namun, perlu diingat juga bahwa tidak semua keluhan kulit menandakan kondisi gawat. Salah satu masalah kulit yang lebih sering terjadi, terutama pada bayi dan anak, adalah dermatitis kontak. Meskipun tidak seberat TEN, dermatitis kontak bisa menimbulkan rasa tidak nyaman, ruam, hingga lepuh ringan. Gejalanya pun kadang sulit dibedakan di awal. Untuk itu, penting bagi Mams memahami ciri khasnya agar tahu kapan cukup ditangani di rumah, dan kapan harus konsultasi ke dokter. Pelajari lebih lanjut di: Gejala Dermatitis Kontak: Kenali dan Bedakan dari Reaksi Kulit Lainnya
References
- Labib, A. M., & Milroy, C. (2021). Toxic epidermal necrolysis. https://europepmc.org/article/nbk/nbk574530
- Mayo Clinic. TEN. Retrieved from https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/toxic-epidermal-necrolysis/symptoms-causes/syc-20491903
- Medline Plus. Stevens-Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis. Retrieved from https://medlineplus.gov/genetics/condition/stevens-johnson-syndrome-toxic-epidermal-necrolysis/
- Em Docs. Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis Mimics – Differential Diagnosis and Initial Management. Retrieved from https://www.emdocs.net/stevens-johnson-syndrome-and-toxic-epidermal-necrolysis-mimics-differential-diagnosis-and-initial-management/
- Chu, M. T., Chang, W. C., Pao, S. C., & Hung, S. I. (2023). Delayed drug hypersensitivity reactions: molecular recognition, genetic susceptibility, and immune mediators. Biomedicines, 11(1), 177. https://www.mdpi.com/2227-9059/11/1/177
- Lerch, M., Mainetti, C., Terziroli Beretta-Piccoli, B., & Harr, T. (2018). Current perspectives on Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Clinical reviews in allergy & immunology, 54, 147-176. https://link.springer.com/article/10.1007/s12016-017-8654-z
- Dobry, A. S., Himed, S., Waters, M., & Kaffenberger, B. H. (2022). Scoring assessments in Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Frontiers in Medicine, 9, 883121. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmed.2022.883121/full
- Cartotto, R., Mayich, M., Nickerson, D., & Gomez, M. (2008). SCORTEN accurately predicts mortality among toxic epidermal necrolysis patients treated in a burn center. Journal of burn care & research, 29(1), 141-146. https://academic.oup.com/jbcr/article-abstract/29/1/141/4602054
- Aaronson, S., Abate, N., Abbate, A., Abdalla, M., Abdel-Hamid, M., Abdelnabi, M., … & Adie, S. JAMA Network Open Peer Reviewers in 2020. https://jamanetwork.com/journals/jamanetworkopen/article-abstract/2777145
- Baldo, B. A., Pham, N. H., Baldo, B. A., & Pham, N. H. (2021). Mechanisms of hypersensitivity. Drug Allergy: Clinical Aspects, Diagnosis, Mechanisms, Structure-Activity Relationships, 59-137. https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-030-51740-3_3