Banyak Mams yang mengira bahwa memberi kebebasan tanpa batas adalah bentuk kasih sayang terbaik untuk si kecil. Padahal, tanpa batasan yang jelas, dia justru bisa merasa bingung, cemas, dan kehilangan arah. Dalam psikologi perkembangan, hal ini disebut boundaries, batas sehat yang menjadi “pagar lembut” agar si kecil memahami mana perilaku yang bisa diterima, mana yang perlu dikoreksi, tanpa merasa terkekang.
Penelitian menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dengan boundaries yang konsisten tumbuh lebih percaya diri, stabil secara emosi, dan mudah beradaptasi. Mereka merasa aman karena tahu bahwa di balik setiap batas, ada kasih sayang yang mengarahkan. Dalam artikel ini, Mams akan membahas pentingnya boundaries dalam pembentukan karakter, serta bagaimana menerapkan boundaries pada anak secara lembut namun tegas demi tumbuh kembang yang sehat, baik secara emosional maupun sosial.
Apa Itu Boundaries pada Anak dan Mengapa Penting?
Boundaries pada anak adalah batasan sehat yang dirancang untuk membantu si kecil memahami mana perilaku yang diterima dan mana yang tidak. Bentuknya bisa berupa rutinitas, aturan rumah, atau kesepakatan yang dijalankan dengan konsisten dan penuh kasih. Misalnya, waktu bermain yang jelas, aturan privasi tubuh, atau kesepakatan waktu tidur. Boundaries semacam ini tidak hanya menumbuhkan rasa tanggung jawab, tapi juga membantu dia merasa aman karena tahu apa yang diharapkan darinya.
Dalam teori perkembangan Erik Erikson, usia 1–3 tahun disebut sebagai fase Autonomy vs. Shame and Doubt, masa di mana si kecil mulai membangun kemandirian. Namun, kemandirian ini tetap membutuhkan arah. Jika terlalu dikekang, dia bisa tumbuh dengan rasa ragu terhadap dirinya. Sebaliknya, jika dibiarkan tanpa batas, bisa muncul kecemasan dan kehilangan rasa kontrol. Di sinilah batasan yang lembut dan konsisten menjadi penting, karena membantu dia belajar memilih dengan percaya diri tanpa rasa takut.
Lebih jauh lagi, menurut teori secure attachment dari John Bowlby, anak yang tumbuh dalam pengasuhan dengan batasan penuh kasih akan memandang dunia sebagai tempat yang aman. Dia merasa dicintai sekalipun ada aturan yang perlu diikuti. Simply Psychology juga menegaskan bahwa struktur sejak dini membantu anak mengatur stres dan membentuk respons sehat terhadap lingkungan. Maka, boundaries pada anak bukan soal mengendalikan, melainkan menciptakan ruang yang aman bagi pertumbuhan jiwanya.
Dampak Positif Boundaries terhadap Perkembangan Emosional Anak
Boundaries pada anak yang diterapkan secara konsisten menciptakan rasa aman dalam diri si kecil. Dia tahu apa yang akan terjadi, apa yang boleh dilakukan, dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini membangun ketenangan karena dia tidak perlu menebak-nebak atau merasa bingung menghadapi reaksi orang tua. Penelitian oleh Grolnick & Ryan dalam teori Self-Determination menunjukkan bahwa kejelasan struktur sangat berpengaruh terhadap kemampuan anak mengatur dirinya sendiri (self-regulation).
Tak hanya membantu mengatur emosi, batasan juga membentuk empati. Studi dari American Psychological Association menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dengan pola asuh hangat dan aturan jelas cenderung lebih mampu memahami perasaan orang lain dan mengendalikan dorongan emosinya. Pola pengasuhan yang hangat namun tegas, bukan permisif atau otoriter, terbukti paling efektif dalam membangun karakter yang seimbang.
Dalam praktik sehari-hari, manfaat boundaries bisa terlihat dari rutinitas sederhana seperti waktu tidur atau makan yang teratur. Rutinitas ini membantu anak memahami transisi aktivitas dengan lebih tenang. Harvard Health menyebut bahwa struktur yang konsisten memungkinkan terjadinya co-regulation, yaitu proses orang tua dan anak mengelola emosi bersama dengan empati. Maka boundaries pada anak bukan bukan sekadar aturan, tapi juga jalan menuju stabilitas emosional dan rasa percaya diri yang kokoh.
Kesalahan Umum Orang Tua saat Menetapkan Boundaries
Salah satu kekeliruan yang sering terjadi adalah ketidakkonsistenan. Kadang aturan ditegakkan, kadang diabaikan tergantung suasana hati. Situasi seperti ini bisa membuat anak bingung dan kehilangan arah. Dia tak tahu apakah aturan benar-benar penting atau bisa dinegosiasi dengan rengekan. Dalam jangka panjang, ini bisa mengikis kepercayaan terhadap otoritas orang tua dan melemahkan kemampuan anak dalam mengatur diri.
Kesalahan lainnya adalah terlalu mengekang. Terlalu banyak aturan tanpa ruang untuk memilih bisa membuat si kecil merasa tertekan. Dalam meta-analisis oleh Pinquart, pola asuh yang terlalu ketat berisiko menumbuhkan anak yang mudah cemas dan rendah percaya diri. Dia mungkin tampak patuh, tapi di dalamnya menyimpan rasa takut dan enggan berekspresi.
Sebaliknya, memberi kebebasan tanpa batas juga bisa menjadi jebakan. Gaya permisif yang terlalu longgar, meski niatnya ingin menjadi “teman” bagi anak, justru membuat dia kesulitan mengenal tanggung jawab. Penelitian dari Harvard Center on the Developing Child menunjukkan bahwa tanpa batas yang jelas, anak sulit memahami konsekuensi dari tindakannya. Maka, pendekatan terbaik adalah yang hangat, konsisten, dan empatik, bukan mengekang, tapi membimbing dengan kasih.
Cara Menerapkan Boundaries yang Sehat di Rumah
Menetapkan boundaries bukan soal membatasi kebebasan si kecil, tapi menciptakan ruang yang aman dan jelas. Saat dilakukan dengan kasih, batasan justru menumbuhkan hubungan yang saling menghargai antara orang tua dan anak. Berikut beberapa cara agar boundaries bisa diterapkan secara sehat dan efektif di rumah:
1. Sesuaikan dengan Tahap Usia dan Perkembangan
Pada usia dini (balita), anak belum mampu berpikir abstrak, sehingga batasan perlu dibuat sederhana dan konkret. Mams bisa menggunakan jadwal bergambar untuk menggambarkan aktivitas harian seperti tidur, makan, dan bermain. Struktur seperti ini memberi rasa aman karena anak tahu apa yang akan terjadi.
Ketika menginjak usia sekolah, anak mulai memahami sebab-akibat. Maka, ajak dia berdiskusi mengenai alasan di balik aturan, seperti mengapa ada batas waktu untuk menonton TV. Untuk remaja, Mams bisa melibatkan mereka dalam menyusun batasan. Dengan merasa dilibatkan, mereka cenderung lebih menghormati aturan karena merasa dihargai.
2. Gunakan Bahasa Positif dan Validasi Emosi
Cara Mams menyampaikan aturan sangat berpengaruh. Hindari nada yang mengintimidasi, dan gantilah dengan bahasa yang lebih positif serta penuh empati. Contohnya, “Mama tahu kamu masih ingin bermain, tapi sekarang waktunya tidur supaya besok kamu bisa bangun segar.” Kalimat seperti ini tidak hanya menyampaikan aturan, tapi juga menunjukkan bahwa perasaan anak dipahami.
Mams juga bisa memberi pilihan terbatas, seperti, “Mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” Cara ini membantu anak merasa punya kendali, sambil tetap berada dalam batas yang aman.
3. Tegas tapi Konsisten, Perkuat dengan Pujian
Konsistensi adalah kunci keberhasilan boundaries. Jika hari ini boleh, tapi besok tidak, anak akan bingung. Maka, penting bagi Mams untuk menunjukkan ketegasan yang stabil. Saat aturan ditegakkan dengan konsisten, anak belajar bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang bisa diprediksi.
Di sisi lain, jangan lupakan kekuatan pujian. Saat anak menunjukkan perilaku yang sesuai, berikan apresiasi tulus. Kalimat sederhana seperti, “Mama senang kamu sudah membereskan mainan tanpa disuruh,” bisa memperkuat perilaku baik lebih efektif daripada hukuman.
4. Hadapi Penolakan dengan Tenang dan Evaluasi Berkala
Penolakan dari anak adalah hal yang wajar, apalagi saat mereka sedang menguji batas. Tapi justru di momen seperti ini, reaksi Mams sangat menentukan. Tanggapi dengan tenang dan tegas, tanpa ancaman. Misalnya, “Karena belum menyelesaikan tugas, sekarang kamu tidak bisa menonton. Kita coba lagi besok, ya.” Ketegasan yang konsisten justru memperkuat rasa aman.
Selain itu, evaluasi batasan secara berkala. Anak yang semakin besar tentu memiliki kebutuhan dan cara berpikir yang berkembang. Libatkan dia dalam proses evaluasi, agar boundaries pada anak tetap relevan, terasa adil, dan menjadi alat pembelajaran yang efektif, bukan bentuk pembatasan yang mengekang.
A Word From Navila
Menetapkan boundaries bukan soal membatasi kebebasan, tapi tentang mencintai dengan cara yang memberi arah. Si kecil tumbuh paling sehat saat dia tahu bahwa cintanya Mams tetap ada, bahkan saat ada aturan yang harus dipatuhi. Lewat batasan yang konsisten, dia belajar bahwa hidup memiliki struktur, dan di dalam struktur itu, ada rasa aman yang menumbuhkan kepercayaan diri.
Mams, membangun boundaries pada anak memang butuh proses dan kesabaran. Tapi percayalah, ini adalah investasi besar untuk masa depan si kecil. Dengan “pagar lembut” yang Mams buat dengan penuh cinta, dia belajar tentang rasa hormat, tanggung jawab, dan kendali diri, bekal penting untuk menavigasi kehidupan yang lebih luas di masa depan.
Inilah bentuk cinta sejati yang tidak selalu ditunjukkan dengan “iya”, tetapi melalui kehadiran yang tegas, hangat, dan bisa dipercaya. Untuk menumbuhkan hubungan yang lebih dalam, Mams juga bisa membaca artikel berikut tentang pentingnya kelekatan emosional antara orang tua dan anak: Manfaat Bonding Time untuk Mental Anak.
References
- Child Mind of Institute. Teaching Kids About Boundaries. Retrieved from https://childmind.org/article/teaching-kids-boundaries-empathy/
- Verywell Mind. Erikson’s Stages of Development. Retrieved from https://www.verywellmind.com/erik-eriksons-stages-of-psychosocial-development-2795740
- Cassidy, J., Jones, J. D., & Shaver, P. R. (2013). Contributions of attachment theory and research: A framework for future research, translation, and policy. Development and psychopathology, 25(4pt2), 1415-1434.
- Simply Psychology. Secure Attachment Style Relationships & How to Form. Retrieved from https://www.simplypsychology.org/secure-attachment.html
- Grolnick, W. S., & Ryan, R. M. (1989). Parent styles associated with children’s self-regulation and competence in school. Journal of educational psychology, 81(2), 143.
- APA. How to help kids understand and manage their emotions. Retrieved from https://www.apa.org/topics/parenting/emotion-regulation
- Harvard Health Publishing. Co-regulation: Helping children and teens navigate big emotions. Retrieved from https://www.health.harvard.edu/blog/co-regulation-helping-children-and-teens-navigate-big-emotions-202404033030
- Parenting Science. Authoritarian parenting outcomes: What happens to the kids? Retrieved from https://parentingscience.com/authoritarian-parenting/
- Harvard University. Three Principles to Improve Outcomes for Children and Families. Retrieved from https://developingchild.harvard.edu/resources/report/three-principles-to-improve-outcomes-for-children-and-families/
- Advanced Psychology Services. A Guide to Setting Age-Appropriate Limits For Children. Retrieved from https://www.psy-ed.com/wpblog/setting-limits-for-children/
- Pathways Psychology Service. How to set limits for children. Retrieved from https://pathways-psychology.com/how-to-set-limits-for-children/
- Psychology Today. Setting Limits With Kids That Stick. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/us/blog/be-amazing/202504/setting-limits-with-kids-that-stick





