Mengajarkan si kecil tentang sikap toleransi memang butuh waktu dan teladan nyata, Mams. Nilai ini tumbuh dari kebiasaan kecil yang dia lihat setiap hari di rumah, dari cara Mams menunggu giliran, berbagi, hingga menghargai pendapat yang berbeda. Dari situ, si kecil belajar bahwa perbedaan bukan sesuatu yang perlu ditakuti, melainkan diterima dengan hati terbuka.

Menanamkan toleransi tidak harus lewat nasihat panjang atau momen besar, cukup melalui rutinitas sederhana seperti bergantian bermain, tidak mengejek, atau ikut berbahagia saat orang lain merayakan hari pentingnya. Perlahan, ia akan memahami bahwa setiap orang punya cara, keyakinan, dan latar belakang yang berbeda, dan semuanya patut dihormati. Yuk, simak empat contoh perilaku toleransi yang bisa Mams ajarkan sejak dini agar si kecil tumbuh menjadi pribadi yang empatik dan mudah bergaul.

Mau Bergantian dan Bersabar Menunggu Giliran

Melatih si kecil untuk bergantian dan menunggu giliran adalah langkah awal yang sangat efektif untuk menumbuhkan sikap toleransi. Saat ia belajar menunggu giliran bermain atau berbicara, sebenarnya ia sedang memahami bahwa orang lain juga memiliki hak dan kesempatan yang sama. Kebiasaan ini menumbuhkan rasa hormat, kesabaran, dan empati terhadap lingkungan sekitarnya. Dari hal sederhana seperti ini, si kecil belajar bahwa dunia tidak berputar hanya di sekitarnya, dan setiap orang layak mendapat ruang yang adil.

Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan anak untuk bergantian erat kaitannya dengan perkembangan sosial dan emosionalnya. Studi dari LENA, misalnya, menemukan bahwa jumlah “conversational turns” atau giliran berbicara antara anak dan orang tua di usia 18 bulan dapat memengaruhi kemampuan sosial-emosionalnya di usia 30 bulan. Aktivitas saling menunggu dan bergantian membantu si kecil mengasah kemampuan memahami perasaan orang lain serta mengontrol dorongan diri. Ketika dilakukan secara konsisten, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang sabar, empatik, dan mampu berinteraksi dengan sehat di lingkungan sosialnya.

Mams juga punya peran besar dalam menumbuhkan kebiasaan ini. Menurut teori pembelajaran sosial Albert Bandura, anak belajar dengan mengamati dan meniru perilaku orang di sekitarnya. Jadi, ketika Mams dan Paps menunjukkan kesabaran menunggu giliran, si kecil akan mencontoh hal yang sama. Misalnya, Mams bisa berkata, “Sekarang giliran Mama dulu, nanti giliran kamu ya.” Dengan begitu, ia memahami bahwa bergantian adalah bentuk menghargai orang lain. Puji setiap kali ia berhasil menunggu, agar kebiasaan ini makin tertanam kuat. Lama-lama, kesabaran dan rasa adil akan menjadi bagian dari karakternya.

Menghargai Teman yang Berbeda

Sikap toleransi adalah kemampuan menghormati perbedaan tanpa merasa lebih unggul dari orang lain. Ketika si kecil terbiasa melihat keragaman, baik dari warna kulit, bahasa, budaya, maupun keyakinan, dia belajar bahwa setiap orang memiliki nilai dan keunikan masing-masing. Menurut UNICEF Early Childhood Development Report, paparan terhadap keberagaman sejak usia dini membantu anak mengembangkan empati sekaligus menurunkan kecenderungan bersikap diskriminatif di kemudian hari.

Anak yang tumbuh dalam lingkungan inklusif akan lebih mudah menyesuaikan diri di berbagai situasi sosial. Dia memahami bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan bagian alami dari kehidupan. Studi dari Harvard Graduate School of Education juga menunjukkan bahwa anak-anak yang mengenal teman dari latar belakang beragam memiliki rasa percaya diri sosial yang lebih tinggi dan lebih siap menghadapi dunia yang multikultural.

Mams bisa mulai menanamkan nilai ini lewat kegiatan sederhana. Misalnya, membacakan buku cerita dengan tokoh dari berbagai budaya, mengajak si kecil menyapa tetangga yang berbeda latar, atau mengucapkan selamat pada teman yang merayakan hari raya tertentu. Dari pengalaman kecil seperti ini, dia belajar melihat keberagaman sebagai sesuatu yang indah. Tanpa disadari, Mams sedang membantu si kecil membangun karakter terbuka dan empatik, inti dari sikap toleransi yang sesungguhnya.

Navila All Products

Mau Mendengarkan dan Tidak Memaksakan Pendapat

Kemampuan untuk mendengarkan tanpa memaksakan kehendak adalah inti dari sikap toleransi. Saat si kecil terbiasa didengar, dia belajar bahwa pendapat orang lain juga layak dihargai. Menurut American Psychological Association (APA), anak yang tumbuh di lingkungan yang menghargai opini memiliki kemampuan sosial dan empati yang lebih tinggi. Dengan memberi ruang bagi si kecil untuk menyampaikan pandangan, Mams sebenarnya sedang menanamkan rasa hormat dan kemampuan berkomunikasi yang sehat.

Dalam situasi sederhana, seperti saat dia berselisih dengan teman, Mams bisa membantu dengan mencontohkan cara berdialog yang baik. Misalnya dengan berkata, “Coba kamu dengar dulu pendapat temanmu, nanti baru kamu jelaskan pendapatmu.” Kalimat semacam ini melatih si kecil memahami bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang harus dimenangkan, tapi dijembatani dengan empati. Studi dari Harvard Center on the Developing Child juga menegaskan bahwa interaksi sosial yang penuh empati di masa kecil berperan besar dalam membentuk kemampuan mengatur emosi dan mengambil keputusan dengan bijak.

Kemampuan untuk mendengarkan dan menghargai perspektif orang lain mulai berkembang pada usia 5–7 tahun. Di fase ini, Mams bisa mengasahnya melalui permainan peran atau diskusi ringan di rumah. Saat si kecil merasa bahwa pendapatnya diterima, dia akan belajar melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Dari sana, dia belajar bukan hanya berbicara dengan sopan, tapi juga memahami makna sejati dari menghargai dan memberi ruang bagi perbedaan.

Mau Meminta Maaf dan Memaafkan

Mengajarkan si kecil untuk berani meminta maaf dan memaafkan orang lain juga merupakan bentuk nyata dari sikap toleransi. Menurut Developmental Psychology, kemampuan meminta maaf dengan tulus menandakan bahwa anak mulai memahami empati serta dampak tindakannya terhadap orang lain. Kata “maaf” bukan sekadar ucapan sopan, melainkan bentuk kesadaran diri bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi.

Dari sisi psikologis, penelitian dalam Journal of Experimental Child Psychology menunjukkan bahwa tindakan meminta maaf dapat membantu seseorang melepaskan rasa bersalah dan mengurangi stres emosional. Bagi anak, proses ini memperkuat kemampuan mengelola emosi dan belajar bahwa kesalahan adalah bagian dari perjalanan menjadi lebih baik. Dengan memahami hal itu, dia pun akan lebih mudah memaafkan orang lain, sebuah wujud nyata dari toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam praktiknya, Mams bisa membantu si kecil memahami makna maaf lewat pendampingan yang lembut. Misalnya, bukan sekadar memintanya berkata “maaf”, tapi juga membantu menamai emosinya, “Kamu marah ya, tapi kamu tidak mau buat temanmu sedih, kan?” Pendekatan seperti ini, menurut Harvard University’s Center on the Developing Child, membantu anak membangun empati dan kemampuan berdamai. Dengan begitu, dia belajar bahwa meminta maaf bukan tanda lemah, melainkan keberanian untuk memperbaiki hubungan dan menjaga kedamaian bersama.

A Word From Navila

Mams, menanamkan sikap toleransi pada si kecil bukan hanya soal mengajarinya berkata “maaf” atau “tolong”. Lebih dari itu, ini tentang menumbuhkan rasa hormat terhadap perbedaan yang ia temui setiap hari. Dia belajar dari apa yang Mams lakukan, dari cara menunggu giliran, mendengarkan tanpa menghakimi, hingga memberi ruang bagi orang lain untuk berpendapat. Semua itu menjadi pelajaran hidup yang akan membentuknya menjadi pribadi yang berempati dan bijak.

Ketika si kecil terbiasa berbagi, menghargai perbedaan, mendengarkan dengan hati, dan berani meminta maaf, sebenarnya dia sedang menumbuhkan kecerdasan emosional dan sosial yang kuat. Nilai-nilai ini tumbuh perlahan, lewat teladan dan kebiasaan yang Mams tanamkan dengan penuh kasih setiap hari. Karena sejatinya, sikap toleransi adalah wujud nyata dari kecerdasan hati, menerima perbedaan bukan dengan terpaksa, tetapi dengan rasa hormat dan kasih.

Yuk, lanjutkan perjalanan menumbuhkan nilai-nilai kebaikan bersama si kecil lewat artikel berikut: Cara Mengembangkan Kecerdasan Spiritual pada Anak dan Contohnya.


References

  • LENA. Study Finds Causal Link Between Conversational Turns and Social Development in Babies. Retrieved from https://www.lena.org/resources/blog-posts/conversational-turns-and-social-development-research/
  • UNICEF. Development status. Retrieved from https://data.unicef.org/topic/early-childhood-development/development-status/
  • Harvard University. Nurturing a Global Mind. Retrieved from https://www.gse.harvard.edu/ideas/usable-knowledge/20/01/nurturing-global-mind
  • APA. Cultivating empathy. Retrieved from https://www.apa.org/monitor/2021/11/feature-cultivating-empathy
  • Harvard University. What Surrounds Us Shapes Us: An Expanded Story of Early Childhood Development. Retrieved from https://developingchild.harvard.edu/key-concepts/what-surrounds-us-shapes-us/
  • Vaish, A., Carpenter, M., & Tomasello, M. (2011). Young children’s responses to guilt displays. Developmental Psychology, 47(5), 1248.
  • Ma, F., Wylie, B. E., Luo, X., He, Z., Xu, F., & Evans, A. D. (2018). Apologies repair children’s trust: The mediating role of emotions. Journal of experimental child psychology, 176, 1-12.