Perna tidak, Mams, setelah membentak anak justru merasa bersalah, lelah, atau bahkan sedih sendiri? Rasanya seperti lingkaran yang terus berulang, niatnya ingin menegakkan aturan, tapi akhirnya jadi ledakan emosi. Padahal di hati, Mams tahu bahwa marah bukan cara terbaik untuk mengasuh. Lalu, bagaimana caranya supaya anak bisa mendengarkan tanpa harus diteriaki dulu? Ternyata ada pendekatan yang bisa menjawab dilema ini, namanya Scream Free Parenting.

ScreamFree Parenting bukan sekadar gaya pengasuhan tanpa marah, tapi seni menjadi orang tua yang tenang, tegas, dan penuh kendali atas diri sendiri. Bukan anak yang dikendalikan lewat suara tinggi, tapi diri kita yang dikuatkan dengan ketenangan. Lewat pendekatan ini, anak belajar memahami konsekuensi, bukan karena takut, tapi karena merasa dihargai dan dipahami. Yuk, kita gali lebih dalam bagaimana ScreamFree Parenting bisa jadi solusi mendidik anak dengan hati yang tetap hangat dan kepala yang tetap dingin.

Apa Itu ScreamFree Parenting dan Mengapa Relevan untuk Orang Tua Modern?

ScreamFree Parenting dikembangkan oleh Hal Runkel sebagai sebuah pendekatan yang mengajak orang tua untuk menjadi “dewasa secara emosional”. Alih-alih bertindak reaktif, orang tua diajak untuk bertanggung jawab atas reaksinya sendiri terlebih dahulu. Artinya, kontrol bukan lagi soal membuat anak patuh, melainkan mengelola diri agar bisa hadir dengan penuh kesadaran saat mendampingi anak.

Pendekatan ini sangat relevan untuk orang tua zaman sekarang yang menghadapi banyak tekanan dari berbagai arah. Ketika stres tidak ditangani, respons kita pun cenderung keras dan penuh dorongan emosi. Sayangnya, respons semacam itu justru membuat anak menjauh. ScreamFree Parenting memberikan alternatif, yaitu bangun kedekatan melalui ketenangan, bukan kekuasaan.

Penelitian pun mendukung pendekatan ini. Studi dari The Guardian menunjukkan bahwa anak yang sering menerima bentakan cenderung memiliki risiko lebih tinggi terhadap kecemasan, rasa rendah diri, dan bahkan agresivitas. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dengan pengasuhan yang stabil secara emosi tumbuh lebih percaya diri, lebih terbuka, dan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan orang tuanya.

Dampak Bentakan pada Anak

Mungkin sesekali membentak terasa “efektif” karena anak langsung berhenti berbuat salah. Tapi efek itu sifatnya sementara dan berakar pada rasa takut, bukan pada kesadaran. Saat anak dibentak, otaknya otomatis masuk dalam mode “fight or flight” yang membuatnya sulit berpikir jernih. Anak tidak benar-benar memahami kesalahannya, hanya ingin menghindari kemarahan.

Dalam jangka panjang, kebiasaan membentak justru membawa dampak negatif. Studi dari Journal of Child Development menemukan bahwa anak yang sering mendapat agresi verbal memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan. Mereka juga cenderung mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial. 

Lebih dari sekadar perilaku, relasi emosional antara anak dan orang tua bisa rusak. Anak mungkin menjadi tertutup, merasa tidak aman, atau sebaliknya, bersikap memberontak. Dan ketika hubungan ini mulai renggang, akan semakin sulit bagi orang tua untuk menjadi panutan yang didengarkan. Maka penting bagi kita, Mams, untuk mulai membangun komunikasi yang lebih tenang dan penuh empati.

Prinsip Inti ScreamFree Parenting

Untuk bisa menerapkan ScreamFree Parenting secara efektif, Mams perlu memahami prinsip-prinsip dasarnya. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi fondasi agar pengasuhan bisa tetap tegas, hangat, dan penuh kendali, meski di tengah situasi yang menantang.

1. Ketegasan Tanpa Kemarahan

Tegas bukan berarti harus marah. Justru, saat Mams menyampaikan batas dengan suara yang tenang tapi tegas, anak akan lebih mudah mendengar. Ketegasan yang konsisten memberi rasa aman, karena anak tahu bahwa aturan tetap berlaku dan tidak berubah-ubah sesuai suasana hati orang tua.

Lebih dari itu, sikap tenang saat memberi batasan adalah contoh nyata bagi anak dalam menghadapi konflik. Mereka belajar bahwa masalah bisa diselesaikan tanpa harus berteriak. Dalam jangka panjang, ini membentuk cara berpikir yang sehat dan dewasa.

Hal Runkel menyebut ini sebagai kekuatan sejati dalam pengasuhan, ketenangan yang tidak goyah meski dalam tekanan. Dengan cara ini, Mams bisa tetap jadi pemimpin yang kuat tapi penuh kasih di rumah.

2. Konsekuensi, Bukan Hukuman

Anak akan belajar lebih baik jika memahami hubungan antara tindakan dan akibatnya. Memberikan konsekuensi logis, seperti menyimpan mainan jika tidak dibereskan, mengajarkan tanggung jawab tanpa melibatkan rasa takut.

Studi dari Positive Discipline Association menekankan bahwa konsekuensi yang diberikan dengan cara tenang justru mendorong anak untuk berpikir dan membuat keputusan yang lebih bijak. Ini berbeda dengan hukuman yang seringkali menumbuhkan rasa malu atau marah.

Sebagai orang tua, kita bukan hakim yang menghukum, melainkan penuntun yang membantu anak memahami pilihan mereka. Dengan begitu, mereka akan tumbuh sebagai pribadi yang bertanggung jawab dari dalam dirinya sendiri.

3. Fokus pada Diri Sendiri Dulu

Saat anak memancing emosi, insting pertama kita mungkin ingin segera bereaksi. Tapi ScreamFree justru mengajak kita untuk jeda sejenak. Tarik napas, kenali perasaan, lalu pilih respon yang lebih bijak.

Penelitian dari University of Pittsburgh menunjukkan bahwa orang tua yang mampu mengatur emosinya cenderung lebih sabar dan solutif. Ini bukan soal membiarkan anak semaunya, tapi memberi ruang bagi kita untuk merespons dengan kepala dingin.

Anak akan meniru cara kita menghadapi tekanan. Jadi, saat Mams menunjukkan bahwa marah bisa ditahan dan disampaikan dengan cara baik, anak pun akan belajar mengelola emosinya sendiri.

4. Komunikasi Penuh Empati

Empati bukan berarti memanjakan, tapi memahami perasaan anak tanpa kehilangan arah. Kalimat seperti “Mama tahu kamu kecewa, tapi sekarang waktunya tidur,” bisa jauh lebih efektif dibanding teriakan. Anak merasa dimengerti, tapi tetap diarahkan.

Menurut Harvard Center on the Developing Child, validasi emosi adalah kunci membangun ikatan yang kuat antara anak dan orang tua. Ketika anak merasa dipahami, mereka lebih terbuka terhadap arahan dan lebih mampu mengenali emosinya sendiri.

Dengan kombinasi empati dan batasan yang jelas, anak belajar bahwa merasa kecewa itu boleh, tapi tetap harus bertanggung jawab atas tindakannya. Ini pondasi penting dalam membangun karakter.

Cara Praktis Menerapkan ScreamFree Parenting di Rumah

Menerapkan ScreamFree Parenting tidak membutuhkan kesempurnaan, tapi kesadaran. Setiap langkah kecil yang Mams lakukan untuk merespons dengan tenang, adalah investasi jangka panjang untuk tumbuh kembang anak.

Berikut beberapa langkah praktis menerapkan ScreamFree Parenting, di antaranya:

  1. Tarik napas dan beri jeda sebelum merespons. Memberi waktu sejenak membantu meredam impuls dan memberi ruang untuk berpikir.
  2. Sampaikan aturan secara singkat dan jelas. Anak lebih mudah memahami pesan langsung seperti: “Kalau tidak dibereskan, Mama simpan ya.”
  3. Berikan pilihan terbatas. Misalnya, “Mau pakai piyama merah atau biru?” Anak merasa punya kontrol tanpa melanggar aturan.
  4. Kenali pemicu emosi dalam diri. Sadari kapan Mams cenderung lebih mudah marah, apakah karena lelah, lapar, atau terlalu banyak tekanan.
  5. Refleksi setelah konflik. Setelah reda, ajak anak ngobrol, “Tadi Mama teriak, itu tidak baik. Kamu juga perlu belajar mendengarkan.”
  6. Beri afeksi setelah memberi konsekuensi. Peluk atau beri senyuman hangat untuk tunjukkan bahwa cinta Mams tidak bersyarat.
  7. Ingat bahwa anak belajar dari contoh. Cara Mams merespons emosi akan menjadi blueprint bagi anak dalam mengelola perasaannya sendiri.

A Word from Navila

ScreamFree Parenting bukan berarti membiarkan anak bertindak sesuka hati, Mams. Justru di sinilah kekuatan orang tua diuji, saat kita mampu menjaga ketenangan di tengah konflik, dan tetap hadir dengan kasih sayang yang tidak bersyarat. Setiap kali kita memilih jeda daripada teriakan, kita sedang membentuk karakter anak yang penuh rasa hormat, tangguh, dan penuh cinta.

Pahami lebih dalam juga berbagai gaya pengasuhan dan menyesuaikannya dengan karakter si kecil, yuk pelajari selengkapnya di: Jenis-Jenis Pola Asuh dan Dampaknya bagi Anak


References

  • Solomon, C. R., & Serres, F. (1999). Effects of parental verbal aggression on children’s self-esteem and school marks. Child abuse & neglect, 23(4), 339-351. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014521349900006X
  • Verywell Health. The Psychological Effects of Being Yelled At. Retrieved from https://www.verywellhealth.com/trauma-response-to-being-yelled-at-5248787
  • The Guardian. Being shouted at by parents can alter child’s brain, experts tell UK MPs. Retrieved from https://www.theguardian.com/society/2025/apr/28/being-shouted-at-by-parents-can-alter-childs-brain-experts-tell-uk-mps
  • Sleeping Child Sane Parent. SCSP Book Club: ScreamFree Parenting. Retrieved from https://sleepingchildsaneparent.com/blog/screamfree-parenting
  • Taylor. The Psychological Effects of Yelling. Retrieved from https://taylorcounselinggroup.com/blog/psychological-effects-of-yelling/