Apakah benar anak laki-laki dan perempuan perlu dididik dengan cara yang berbeda? Banyak orang tua masih memegang pandangan bahwa anak laki-laki biasanya lebih aktif, sedangkan anak perempuan lebih tenang dan peka. Namun, tidak semua perbedaan itu bersumber dari faktor alami. Sebagian besar justru terbentuk karena pengaruh pola asuh dan norma sosial yang diwariskan turun-temurun.
Memahami batas antara fakta ilmiah dan stereotip adalah langkah penting bagi orang tua. Prinsip kesetaraan gender dalam parenting mendorong kita untuk melihat anak secara utuh, bukan sekadar berdasarkan jenis kelaminnya. Anak-anak perlu diperlakukan sesuai kebutuhannya masing-masing. Dalam artikel ini, Mams akan menemukan panduan mendidik anak secara adil dan bebas bias gender.
- Apa Kata Ilmiah tentang Perbedaan Gender pada Anak?
- Bahaya Stereotip Gender dalam Pola Asuh Anak
- Gunakan Pola Asuh Gender-Responsive Parenting
- Strategi Mendidik Anak Laki-laki agar Tumbuh Empatik dan Bertanggung Jawab
- Strategi Mendidik Anak Perempuan agar Percaya Diri dan Tangguh di Ruang Publik
- A Word From Navila
- Reference
Apa Kata Ilmiah tentang Perbedaan Gender pada Anak?
Secara biologis, memang ada beberapa perbedaan perkembangan antara anak laki-laki dan perempuan. Studi dari Harvard menunjukkan bahwa otak anak laki-laki rata-rata lebih besar, sementara otak anak perempuan menunjukkan aktivitas simetris yang lebih tinggi dalam tugas-tugas berbahasa. Ini membuat anak perempuan umumnya lebih cepat dalam berbicara atau mengekspresikan diri secara verbal. Tapi, perbedaan ini bukanlah aturan tetap yang berlaku untuk semua anak.
Dari sisi motorik, anak laki-laki cenderung unggul dalam gerakan kasar seperti berlari atau melempar bola. Sementara itu, anak perempuan biasanya lebih terampil dalam gerakan halus seperti menggambar atau menyusun. Tapi, hal ini juga dipengaruhi oleh jenis stimulasi yang diberikan sejak kecil. Lingkungan sekitar, termasuk mainan dan aktivitas yang diperkenalkan, berperan besar dalam membentuk perkembangan ini.
Meski perbedaan biologis memang ada, para ahli sepakat bahwa perkembangan anak bersifat spektrum. Tidak semua anak laki-laki lebih aktif, dan tidak semua anak perempuan lebih tenang. Faktor pengasuhan, stimulasi, dan respons orang tua jauh lebih memengaruhi perkembangan daripada jenis kelamin semata. Karena itu, penting bagi orang tua untuk melihat karakter dan potensi anak sebagai individu unik, bukan berdasarkan label gender.
Bahaya Stereotip Gender dalam Pola Asuh Anak
Stereotip seperti “anak laki-laki tidak boleh menangis” atau “anak perempuan harus selalu lembut” masih sering ditemui dalam pola asuh. Banyak orang tua menerapkan ini tanpa sadar, karena terbiasa melihatnya sejak kecil. Padahal, menanamkan stereotip sempit dapat menghambat perkembangan emosional dan karakter anak. Anak laki-laki bisa merasa malu mengekspresikan kesedihan, sementara anak perempuan takut dianggap tidak sopan jika bersuara tegas.
Penelitian dari Journal of Adolescent Health menunjukkan bahwa tekanan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi gender dapat meningkatkan risiko kecemasan dan masalah perilaku. Anak perempuan yang dipaksa selalu patuh bisa kehilangan rasa percaya diri. Sebaliknya, anak laki-laki yang dilarang menunjukkan emosi rentan mengalami ledakan kemarahan atau stres tersembunyi.
Mendidik anak tanpa stereotip bukan berarti menghapus identitas gender mereka. Justru, ini memberi ruang agar anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih otentik. Pola asuh yang setara membantu anak mengenali emosinya, mengeksplorasi minat, dan membangun kemampuan sosial yang lebih baik. Menurut UNICEF, anak yang dibesarkan tanpa bias gender cenderung lebih tangguh, empatik, dan mandiri.
Gunakan Pola Asuh Gender-Responsive Parenting
Gender-responsive parenting menekankan pentingnya memahami anak berdasarkan karakter dan kebutuhannya, bukan berdasarkan jenis kelamin. Pendekatan ini mengajak orang tua untuk lebih peka terhadap respons emosional anak dan memberikan dukungan yang sesuai. Mams tidak perlu terpaku pada anggapan lama seperti “anak laki-laki harus kuat” atau “anak perempuan harus kalem.”
Dalam praktiknya, Mams bisa mulai dengan merespons anak sesuai konteks. Misalnya, saat anak laki-laki sedih, peluk dan validasi perasaannya tanpa menuntut ia terlihat “tangguh.” Jika anak perempuan menyukai eksperimen sains atau olahraga, beri dukungan penuh tanpa menganggapnya tomboy. Penelitian dari American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa pendekatan ini meningkatkan rasa percaya diri dan kesejahteraan mental anak.
Beberapa langkah konkret yang bisa Mams coba: dengarkan anak tanpa menghakimi, hindari memberi label berdasarkan gender, sediakan mainan dan aktivitas yang beragam, dan validasi emosi anak dengan tulus. Dengan cara ini, Mams membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara emosional dan bebas mengekspresikan dirinya.
Strategi Mendidik Anak Laki-laki agar Tumbuh Empatik dan Bertanggung Jawab
Anak laki-laki sering tumbuh dalam lingkungan yang mengutamakan ketangguhan, tapi mengabaikan sisi emosional mereka. Padahal, mengenali dan mengekspresikan emosi adalah bekal penting dalam kehidupan sosial anak. Salah satu strategi yang efektif adalah emotion labeling, mengajak anak mengenali dan menyebutkan perasaannya. Contohnya, Mams bisa berkata, “Kamu sedih karena mainannya rusak, ya?”
Peran ayah sangat penting dalam hal ini. Ayah yang hangat, terbuka, dan bisa meminta maaf saat salah menjadi teladan positif bagi anak laki-laki. Studi dari Harvard Graduate School of Education menyebutkan bahwa anak yang dekat dengan ayahnya lebih mampu mengelola stres dan menunjukkan empati. Sikap ini menumbuhkan maskulinitas yang sehat, bukan yang toksik.
Hindari membatasi anak laki-laki dengan norma seperti “jangan cengeng” atau “harus jadi pemimpin.” Penelitian menunjukkan bahwa toxic masculinity meningkatkan risiko masalah psikologis dan relasi sosial yang buruk. Alih-alih menekan, bimbing anak untuk terbuka, peduli, dan bertanggung jawab. Ini adalah fondasi membentuk pria masa depan yang utuh dan berdaya.
Strategi Mendidik Anak Perempuan agar Percaya Diri dan Tangguh di Ruang Publik
Sejak kecil, anak perempuan perlu dibiasakan menyuarakan pendapat dan diberi ruang untuk didengar. Hal ini penting agar mereka tumbuh percaya diri dan tidak takut berbicara di ruang publik. Di rumah, Mams bisa mulai dengan sering berdiskusi, menanyakan pendapat anak, dan menghargai jawabannya, meski berbeda.
Anak perempuan juga perlu diajarkan tentang consent dan batasan pribadi. Sejak dini, ajarkan bahwa tubuh dan ruang pribadinya adalah miliknya sendiri. Mereka harus tahu bahwa berkata “tidak” itu boleh, dan penting untuk menghargai batasan orang lain juga. Di era digital, literasi online dan keamanan daring juga perlu dikenalkan secara bertahap.
Dorong anak perempuan untuk mengeksplorasi bidang STEM, olahraga, dan kepemimpinan tanpa batasan gender. Mams bisa mengenalkan tokoh inspiratif perempuan atau mengajak mereka mencoba kegiatan eksploratif. Jangan fokus pada hasil, tapi beri ruang untuk mencoba dan belajar. Anak perempuan yang diberi dukungan seperti ini akan tumbuh lebih percaya diri dan berani menghadapi tantangan.
A Word From Navila
Mams, di era sekarang, mendidik anak bukan lagi soal membagi peran berdasarkan jenis kelamin. Dunia sudah terlalu kompleks untuk membatasi anak dalam kotak-kotak sempit. Setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, punya potensi yang hanya bisa berkembang jika diberi kebebasan untuk menjadi diri sendiri.
Kabar baiknya, Mams bisa mulai perubahan ini dari rumah. Dengan pola asuh yang responsif gender, Mams tidak hanya membentuk anak yang lebih kuat dan percaya diri, tapi juga menciptakan generasi yang lebih inklusif dan adil. Yuk, kenali lebih jauh berbagai pendekatan pengasuhan yang bisa Mams terapkan di: Jenis-jenis Pola Asuh dan Dampaknya bagi Anak.
Reference
- Grindal, T. A., Hinton, C., & Shonkoff, J. P. (2012). The science of early childhood development. Defending childhood: Keeping the promise of early education, 13.
- Zheng, Y., Ye, W., Korivi, M., Liu, Y., & Hong, F. (2022). Gender differences in fundamental motor skills proficiency in children aged 3–6 years: A systematic review and meta-analysis. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(14), 8318.
- Blum, R. W., Mmari, K., & Moreau, C. (2017). It begins at 10: How gender expectations shape early adolescence around the world. Journal of Adolescent Health, 61(4), S3-S4. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1054139X17303555
- Malonda-Vidal, E., Samper-García, P., Llorca-Mestre, A., Muñoz-Navarro, R., & Mestre-Escrivá, V. (2021). Traditional masculinity and aggression in adolescence: Its relationship with emotional processes. International journal of environmental research and public health, 18(18), 9802.
- UNICEF. Equal treatment from day one. Retrieved from https://www.unicef.org/parenting/child-development/equal-treatment-gender
- American Psychological Association. (2018, August). APA guidelines for psychological practice with boys and men. https://www.apa.org/about/policy/boys-men-practice-guidelines.pdf
3 comments