Menangis adalah reaksi alami yang sering dilakukan oleh anak-anak. Baik itu karena mereka menginginkan sesuatu, merasa bosan, atau sedang tidak enak badan, tangisan sering menjadi alat komunikasi utama bagi mereka.
Namun, menangis seringkali diasosiasikan dengan hal negatif dan dianggap sebagai tanda kelemahan, terutama pada anak laki-laki.
Ada pandangan yang mengatakan bahwa anak laki-laki tidak seharusnya menunjukkan kelemahan, yang berarti mereka tidak boleh menangis.
Akibatnya, ketika anak menangis, orang tua sering kali merespons dengan marah. Padahal, respons yang kurang tepat dari orang tua saat anak menangis dapat memberikan dampak negatif bagi perkembangan emosional mental anak.
Oleh karena itu, sebagai orang tua yang baik, Bunda jangan asal berbicara saat putra Bunda menangis. Jadi Bunda harus hindari kata ini saat anak laki-laki menangis!
Mengapa Laki-laki Dituntut Tidak Boleh Menangis? Apakah Laki-laki Bukan Manusia?
Laki-laki sering dituntut untuk tidak menangis karena budaya sosial yang telah berkembang selama berabad-abad.
Menangis sering dianggap sebagai tanda kelemahan atau ketidakmampuan, dan oleh karena itu, tidak sesuai dengan citra laki-laki yang “ideal” yang harus kuat dan tangguh.
Mitos tentang maskulinitas ini mendorong laki-laki untuk percaya bahwa menunjukkan perasaan adalah tanda kelemahan, sehingga menangis dianggap hanya pantas dilakukan oleh perempuan. Laki-laki yang menangis sering dianggap kurang maskulin.
Stereotip semacam ini berkembang karena budaya patriarki yang memperkuat peran gender tradisional, menekankan bahwa kekuatan dan ketangguhan adalah ciri-ciri maskulinitas yang diidealkan.
Laki-laki diharapkan menjadi simbol kekuatan dan maskulinitas, serta tidak boleh menunjukkan kelemahan.
Masyarakat yang mempertahankan pandangan ini cenderung memiliki ambisi dan idealisme tinggi terhadap konsep “laki-laki sejati.”
Pandangan ini sangat problematis dan tidak realistis. Laki-laki, seperti halnya perempuan, adalah manusia yang memiliki perasaan dan emosi.
Menangis adalah salah satu cara alami manusia untuk mengekspresikan emosi, seperti kesedihan, frustrasi, atau kebahagiaan yang mendalam.
Dengan menuntut laki-laki untuk menahan air mata dan menekan emosinya, kita sebenarnya merampas kemampuan mereka untuk mengekspresikan diri dengan sehat dan jujur.
Akibat dari tekanan ini, banyak laki-laki mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi mereka, yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental, seperti stres, depresi, dan bahkan peningkatan risiko bunuh diri.
Jadi, yang menyebabkan laki-laki jarang menangis sebenarnya bukanlah sifat alami, melainkan tekanan dari lingkungan mereka yang sering kali membuat mereka kesulitan mengekspresikan emosi.
Budaya patriarki tidak hanya mencerminkan ketidakadilan gender terhadap perempuan, tetapi juga berdampak negatif pada laki-laki.
Pembatasan sosial terhadap ekspresi emosional laki-laki dapat berujung pada masalah kesehatan mental dan hubungan interpersonal yang buruk.
Carl Jung, seorang tokoh terkemuka Psikologi, mengemukakan bahwa pribadi yang ideal adalah mereka yang mampu menyeimbangkan aspek feminin dan maskulin dalam dirinya. Setiap individu memiliki kedua sisi tersebut.
Namun, dalam proses tumbuh kembang, lingkungan sering kali mendorong seseorang untuk hanya menampilkan satu sisi dan menekan sisi lainnya.
Agar menjadi pribadi yang sehat dan seimbang, seseorang perlu mengenal serta menyeimbangkan kedua aspek ini, sambil menjalankan peran-peran yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
Laki-laki adalah manusia, semua manusia berhak untuk merasakan dan mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang sehat, termasuk menangis.
Tidak ada yang salah dengan menangis, semua orang berhak meluapkan emosinya.
Dan penting bagi kita semua, baik laki-laki maupun perempuan, untuk belajar menerima dan menghargai emosi kita sebagai bagian dari pengalaman manusia yang lengkap.
Mengubah pandangan masyarakat tentang menangis dan emosi pada laki-laki adalah langkah penting dalam membangun masyarakat yang lebih sehat dan inklusif, di mana semua orang, tanpa memandang gender, dapat menjadi diri mereka sendiri tanpa rasa takut atau rasa malu.
Hindari Kata Ini saat Anak Laki-laki Menangis
Agar tidak semakin menyakiti perasaannya, hindari kata ini saat anak laki-laki menangis ya Bunda.
1. Jangan Remehkan
Meremehkan perasaan anak laki-laki ketika dirinya menangis dapat membuatnya merasa tidak dihargai dan tidak dipahami.
Menurut penelitian dari American Psychological Association (APA), meremehkan emosi anak dapat menyebabkan sang anak menekan perasaan tersebut, yang pada gilirannya dapat menyebabkan masalah emosional dan psikologis di kemudian hari.
Sebagai contoh, jika seorang anak menangis karena mainannya rusak, hindari mengatakan, “Itu cuma mainan, gak usah cengeng.”
Sebaliknya, cobalah untuk menunjukkan empati dengan mengatakan, “Bunda tahu kamu sedih karena mainanmu rusak, ayo kita cari cara untuk memperbaikinya.”
2. Jangan Bandingkan
Membandingkan anak laki-laki dengan saudara atau teman lainnya saat mereka menangis bisa merusak harga diri mereka.
Menurut Child Mind Institute, membandingkan anak dengan orang lain dapat menyebabkan mereka merasa tidak cukup baik dan berujung pada rendahnya rasa percaya diri.
Hindari mengatakan, “Ngapain pake nangis? Lihat abangmu, kalau jatuh gak pernah menangis.”
Sebaliknya, fokuslah pada dia dan bantu atasi emosinya dengan mengatakan, “Apa yang membuatmu sedih, nak? Ayo, sama Bunda, kita cari solusi bersama.”
3. Jangan Paksa Berhenti
Memaksa anak laki-laki berhenti menangis dapat mengajarkan padanya untuk menekan emosi lebih dalam.
Ini berpotensi menyebabkan masalah kesehatan mental. Anak-anak yang ditekan untuk menahan emosi lebih mungkin mengalami kecemasan dan depresi di masa dewasa.
Jadi, alih-alih mengatakan, “Berhenti nangis GAK!,” cobalah mengatakan, “Nak, kenapa kamu menangis? Gak apa kalau mau menangis, sini sama Bunda cerita ada apa?”
4. Jangan Mengolok-olok
Mengolok-olok atau mengejek anak laki-laki yang menangis bisa membuat dirinya merasa malu dan menganggap bahwa mengekspresikan emosi adalah sesuatu yang salah dan aib.
Penelitian dari National Institute of Mental Health menunjukkan bahwa ejekan yang berulang kali dapat menyebabkan gangguan harga diri dan rasa tidak aman pada anak-anak.
Sebagai contoh, misal putra Bunda terjatuh saat bermain. Daripada mengatakan, “Udah gedhe kok masih nangis macam bayi” lebih baik katakan, “It’s ok, sayang. Nanti Bunda obati lukanya, ya.”
5. Jangan Abaikan
Mengabaikan tangisan anak laki-laki dapat mengirim pesan bahwa emosi mereka tidak penting.
Anak-anak yang sering diabaikan saat mereka menangis cenderung mengalami kesulitan dalam mengelola emosinya dan merasa tidak dihargai.
Jika anak menangis, jangan diamkan saja atau berpura-pura tidak melihat. Sebaliknya, dekati dia dan katakan, “Bunda perhatikan kamu terlihat sedih. Ada apa nak? Sini, cerita sama Bunda.”
6. Jangan Beri Label
Memberikan label seperti “lemah” atau “cengeng” saat anak laki-laki menangis dapat merusak citra dirinya.
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP), labeling dapat berdampak buruk pada perkembangan identitas anak dan menghalanginya mengekspresikan emosi secara sehat.
Hindari mengatakan, “Cengeng banget sih jadi cowok.” Sebaliknya, akui perasaannya dengan mengatakan, “Bunda tahu ini sulit, itu tidak masalah, nak. Gak apa sedih, semua orang wajar kok sedih. Yang penting jangan berlarut-larut, kita cari solusi bersama, ya.”
7. Jangan Mengancam
Mengancam anak laki-laki agar berhenti menangis dapat menciptakan rasa takut dan tidak aman. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), ancaman verbal dapat menyebabkan trauma emosional dan mengganggu perkembangan sosial serta emosional anak.
Misal, anak tidak mau pergi dari tempat bermain dan menangis, daripada mengatakan, “Kalau gak berhenti nangis, Bunda tinggal kamu di sini!” lebih baik katakan, “Iya, gak apa kok kamu sedih, nak. Kan besok ke sini lagi. Yuk, sama Bunda kita pulang dulu.”
8. Jangan Menghakimi
Menghakimi anak laki-laki karena menangis dapat membuat mereka merasa bersalah atau malu atas perasaannya.
Menghakimi perasaan anak dapat menghambatnya dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan kemampuan untuk mengatasi stres.
Alih-alih mengatakan, “Ginian doang nangis, mau jadi apa kamu?!” lebih baik katakan, “Kok kamu nangis? Ada apa? Sini cerita sama Bunda.”
Ungkapan-ungkapan Toxic yang Tidak Boleh Bunda Katakan saat Berbicara pada Anak Laki-laki
Bukannya memperbaiki, ungkapan-ungkapan ini malah akan merusak mental anak. Berikut ungkapan-ungkapan toxic yang sebaiknya tidak Bunda katakan saat berbicara kepada anak laki-laki.
“Cowok kok Sensi Amat”
Meskipun terdengar sepele, ungkapan ini bisa lebih merugikan daripada yang Bunda kira.
Anak laki-laki di seluruh dunia sering merasa malu untuk mengekspresikan emosi mereka, hampir seolah-olah mereka tidak boleh memiliki perasaan, apalagi mengungkapkannya secara terbuka.
Akibat terlalu sering memendam emosi dan tidak meluapkan, perasaan-perasaan ini akan selalu berputar dalam benak dan pikiran yang menyebabkan penyakit mental.
Inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa jumlah pasien di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) kebanyakan adalah laki-laki.
Selain itu, ini membuat putra Bunda menjadi tidak terbuka kepada Bunda karena dianggap lemah mengutarakan perasaan.
Ketika Bunda mengatakan jangan terlalu sensitif hanya karena dia laki-laki, secara tidak langsung ini akan menekan perasaan mereka dan membuat mereka merasa dirinya tidak boleh memiliki perasaan.
Ungkapan ini juga akan semakin mendukung pernyataan bahwa laki-laki itu kuat dan perempuan itu lemah.
Padahal, idola anak laki-laki yang pertama adalah ibu, dan ibu selalu menggambarkan seseorang yang kuat dalam menghadapi hidup.
Untuk itu, daripada Bunda menghakimi perasaan sensitif putra Bunda, lebih baik Bunda membiarkan dia mengekspresikan emosinya dengan bebas, baru kemudian mengevaluasi emosi putra Bunda.
“Laki-laki kok Cengeng, Harus Kuat!”
Menangis adalah bagian dari emosi dan perasaan makhluk hidup, jika Bunda melarang menangis, otomatis Bunda melarang dia mengekspresikan emosinya.
Mungkin maksudnya baik, Bunda ingin sang putra nantinya menjadi pria yang kuat, berani dan bertanggung jawab.
Namun, kenyataannya ini akan menekan perasaannya yang akan menjadi beban pikiran. Dampak terburuk adalah dia akan menjadi pribadi yang tidak berperasaan, dan dalam beberapa kasus, emosinya akan dilampiaskan kepada istri dan anaknya di masa depan.
Jika memang niatnya baik, mengapa Bunda tidak menghapus kata gendernya, misalnya “Nak, hidup ini memanglah berat. Tidak apa jika ingin menangis. Kamu bisa membicarakan masalahmu dengan Bunda.”
Kalimat ini tidak menghakimi gender, serta mengajarkan anak untuk terbuka pada orang tua, jadi perasaan putra Bunda tidak akan terluka.
“Gak Usah Nangis… Cowok kok Cengeng Macam Cewek”
Masyarakat seperti sudah mematenkan bahwa menangis adalah bentuk dari kelemahan. Dengan stereotip bahwa laki-laki tidak boleh lemah, menjadikan menangis adalah aib bagi laki-laki itu sendiri.
Kenapa pria dewasa cenderung lebih suka meluapkan perasaan lewat amarah? Karena selama tumbuh kembangnya, budaya masyarakat seperti tidak mengizinkan laki-laki untuk berekspresi seperti menangis.
Ditambah lagi, pasti selalu membandingkan perasaannya dengan anak perempuan (“Laki-laki tidak boleh menangis, harus kuat! Kalau perempuan menangis wajar”), padahal setiap manusia memiliki emosi sendiri-sendiri.
Jadi, sangat salah apabila manusia satu dibandingkan dengan manusia lainnya, karena sejatinya memang manusia itu memiliki perasaan yang berbeda-beda.
Untuk itu, sebagai orang tua yang baik, sudah seharusnya Bunda mengajarkan kepada putra Bunda bahwa menangis dan merasa sedih itu tidak apa-apa, karena memang manusia diciptakan memiliki perasaan.
Yang terpenting, setelah menangis mari menemukan solusi atas permasalahan, jangan berlarut-larut. Lalu, peran Ayah juga sangat penting dalam proses ini, Ayah bisa menjadi contoh dan menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa merasakan kesedihan.
“Cowok kok Mainannya Gituan”
Selain dari perkataan, perilaku pun pun terkadang orang tua atur untuk anak-anak, salah satunya adalah bermain.
Laki-laki cenderung hanya diperbolehkan melakukan permainan yang kasar, seperti sepak bola, dan permainan olah raga.
Padahal, fisik setiap anak itu berbeda-beda, alangkah baiknya jika membiarkan dia bermain sesuai kesukaannya tanpa adanya paksaan.
Perilaku seperti ini hanya akan menghentikan seorang anak laki-laki bereksplorasi minat mereka, dan dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kemampuan mereka sebagai orang tua.
“Itu loh… Tiru Abangmu!”
Secara tegas, tidak ada yang lebih merusak harga diri seorang anak selain dibandingkan dengan saudara kandungnya.
Mengatakan ini kepada anak laki-laki dapat membuat mereka terus-menerus mencoba meniru apa yang dilakukan anak lain dalam upaya untuk menyenangkan orang tuanya.
Ini tidak hanya berbahaya, tetapi juga akan membuat anak laki-laki merasa terus-menerus sedih dan lelah.
Demikian pula, ini juga akan menyebabkan dia merasa gagal setiap hari. Ini adalah hidupnya bukan orang lain, Bunda!
Alih-alih menggunakan perkataan ini, lebih baik Bunda menganalisa dan mengevaluasi terkait keunikan masing-masing anak Bunda.
Dan Bunda bisa menyesuaikan parenting Bunda dengan masing-masing anak. Tidak ada satupun anak yang sama, sama seperti tidak ada satupun orang tua yang sama!
Kesimpulannya, ungkapan seperti “Laki-laki gak boleh nangis” adalah salah satu contoh dari toxic masculinity yang harus dihindari oleh orang tua.
Pandangan ini mengajarkan anak laki-laki bahwa menunjukkan emosi, terutama melalui tangisan, adalah sesuatu yang salah atau memalukan.
Padahal, mengekspresikan emosi adalah bagian penting dari perkembangan emosional yang sehat.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mendukung anak laki-laki dalam mengekspresikan emosinya secara sehat dan terbuka, termasuk ketika mereka merasa perlu menangis.
Ini sangat mempengaruhi mentalitasnya, karena kesehatan mental anak bergantung pada parenting orang tua.
Jika emosi terus menerus dipendam, hal terburuk yang terjadi adalah dia akan menjadi pribadi yang tidak berempati.
Berikut adalah tayangan seputar “Boys Don’t Cry” dan dampaknya di masa depan anak.
2 comments