Mengelola emosi adalah bagian penting dalam tumbuh kembang anak. Namun, kemampuan ini tidak datang begitu saja secara otomatis. Anak-anak perlu belajar mengenali perasaan mereka dan mencari cara yang tepat untuk mengekspresikannya. Ketika mereka belum mampu mengungkapkan rasa kecewa, marah, atau takut dengan kata-kata, emosi yang meledak sering menjadi satu-satunya bahasa yang mereka gunakan. Salah satu cara mengendalikan emosi pada anak yang efektif adalah dengan memberikan bimbingan yang konsisten dan penuh pengertian sejak dini.

Di sinilah peran Mams sangat dibutuhkan. Dengan kehadiran yang sabar dan penuh pengertian, Mams membantu anak merasa didengar dan dimengerti, sekaligus membimbing mereka menyalurkan perasaan secara sehat. Artikel ini akan mengajak Mams memahami proses pengelolaan emosi pada anak, serta memberikan strategi praktis agar anak bisa belajar mengendalikan perasaannya dengan baik sesuai usia.

Mengapa Anak Sulit Mengendalikan Emosi?

Secara perkembangan otak, kemampuan anak untuk mengatur emosi memang belum sepenuhnya terbentuk. Bagian otak yang bertugas mengendalikan impuls, yaitu prefrontal cortex, masih dalam tahap pematangan dan baru berkembang optimal saat remaja. Akibatnya, ketika menghadapi situasi yang menimbulkan frustrasi atau ketidaknyamanan, anak cenderung bereaksi spontan. Mereka belum memiliki “rem” yang cukup kuat untuk menahan dorongan emosi yang datang tiba-tiba. Jadi, saat anak meledak karena hal kecil, bukan berarti ia nakal atau manja, dia sedang berjuang dengan sistem emosinya yang masih belajar.

Di usia dini, anak juga belum mengenal strategi yang efektif untuk mengatur perasaan. Mereka mengekspresikan emosi sebagaimana adanya, kadang lewat tangisan, teriakan, atau bahkan perilaku agresif. Ini terjadi karena mereka belum tahu alternatif yang lebih tenang. Penelitian Frontiers bahkan menunjukkan bahwa kemampuan anak dalam mengatur reaksi emosinya, seperti mengalihkan perhatian atau menenangkan diri, masih sangat terbatas di rentang usia 3–7 tahun. Maka, cara mengendalikan emosi pada anak perlu diberikan dengan pendekatan yang sesuai, khususnya untuk anak usia 3 tahun yang masih membutuhkan pendampingan ekstra.

Lingkungan sekitar, terutama interaksi sehari-hari dengan orang tua, sangat memengaruhi cara anak memproses emosi. Anak belajar dengan mengamati, mereka memperhatikan bagaimana orang tua bereaksi saat kesal, lelah, atau kecewa. Bila orang tua merespons emosi dengan tenang dan empati, anak akan lebih mudah meniru pola tersebut. Sebaliknya, jika emosi sering direspons dengan bentakan atau cuek, anak pun bisa meniru cara yang sama. Di sinilah pentingnya peran orang tua sebagai co-regulator, pendamping sekaligus teladan dalam proses belajar emosi anak.

Validasi Emosinya

Langkah awal yang penting dalam membantu anak mengelola emosi adalah dengan memvalidasi perasaannya. Artinya, Mams menerima dan mengakui emosi yang anak rasakan, tanpa terburu-buru mengoreksi atau menenangkan secara berlebihan. Saat anak menangis atau marah, wajar kalau kita ingin segera berkata, “Udah, jangan nangis” atau “Nggak usah marah, biasa aja.” Namun, kalimat seperti ini justru bisa membuat anak merasa tidak dimengerti. Sebaliknya, cobalah katakan, “Mama tahu kamu sedih karena mainannya rusak, ya.” Kalimat sederhana ini memberi sinyal bahwa perasaannya dihargai.

Validasi bukan berarti membiarkan anak berperilaku sesuka hati, tapi membantu mereka membedakan antara perasaan dan tindakan. Setelah emosi anak diterima, orang tua tetap bisa menetapkan batasan dengan lembut, seperti, “Mama ngerti kamu kesal, tapi memukul itu nggak boleh.” Pendekatan seperti ini melatih anak untuk mengenali emosinya tanpa harus melampiaskannya secara negatif. Anak pun perlahan akan belajar bahwa setiap perasaan itu wajar, namun harus disalurkan dengan cara yang tepat.

Navila All Products

Untuk mendukung proses ini, Mams juga bisa menggunakan pendekatan seperti mendengarkan aktif atau mencerminkan emosi anak. Misalnya, “Kamu kecewa karena nggak diajak main, ya?” Dengan cara ini, anak merasa aman untuk terbuka, yang akhirnya memperkuat hubungan emosional dengan orang tua. Dari sinilah anak mulai membangun fondasi penting: kesadaran emosional yang akan membantunya mengatur perasaan secara mandiri di kemudian hari.

Strategi Praktis Mengontrol Emosi Anak Berdasarkan Usia

Setiap usia anak memiliki cara berbeda dalam mengekspresikan dan mengelola emosinya, Mams. Dengan memahami tahapan perkembangannya, Mams dapat memilih strategi yang paling tepat untuk membantu anak belajar cara mengontrol emosi pada anak secara sehat dan positif.

Anak Usia 3 Tahun (Toddler)

Di usia 3 tahun, anak sangat mengandalkan dukungan orang tua untuk menenangkan diri. Fungsi pengendalian diri mereka masih berkembang, sehingga Mams perlu hadir secara aktif dalam proses co-regulation. Ajak anak melakukan aktivitas sederhana seperti teknik “napas balon”, mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan sambil membayangkan meniup balon. Aktivitas ini merangsang sistem saraf untuk lebih rileks dan membantu anak merasa lebih tenang.

Mams juga bisa menyiapkan calm corner, yaitu sudut tenang di rumah yang diisi dengan benda-benda yang disukai anak, bantal, boneka, atau mainan sensorik. Di saat emosi memuncak, anak bisa diarahkan ke sudut ini untuk menenangkan diri dengan cara yang aman. Tidak perlu memaksa anak bicara, cukup temani dan beri waktu sampai dia siap membuka diri. Ini memberi pesan bahwa emosi boleh dirasakan, asalkan dikelola secara sehat. Inilah salah satu cara mengontrol emosi anak usia 3 tahun yang efektif dan penuh kasih sayang.

Untuk membantu anak memahami perasaannya, gunakan media visual seperti kartu ekspresi wajah, atau bercermin bersama sambil menyebutkan nama emosi yang sedang dirasakan. Semakin sering anak mengenali dan menyebutkan emosinya, semakin mudah pula bagi mereka untuk mengaturnya seiring waktu.

Anak Usia SD (6–10 Tahun)

Memasuki usia sekolah dasar, anak mulai bisa memahami bahwa emosi berkaitan dengan pikiran dan tindakan. Ini saat yang tepat untuk mengenalkan self-talk positif, seperti “Aku bisa tenang” atau “Aku tahu cara ngatur marahku.” Mams bisa mencontohkan secara langsung dalam situasi sehari-hari, misalnya, “Mama juga tadi kesal, tapi Mama ambil napas dulu biar nggak meledak.” Dengan cara ini, Mams mengajarkan cara mengendalikan emosi anak SD secara efektif melalui contoh nyata.

Aktivitas seperti membuat jurnal perasaan atau emosi diary juga bermanfaat. Anak bisa menggambar atau menulis perasaan mereka dengan cara yang bebas dan menyenangkan. Kegiatan ini membantu mereka lebih mengenal pola emosinya sendiri, sekaligus mengurangi kecenderungan untuk meluapkan emosi secara impulsif.

Manfaatkan pula momen reflektif setelah konflik, baik itu di rumah maupun di sekolah. Pertanyaan seperti, “Waktu tadi itu kamu merasa apa?” atau “Kalau kejadian lagi, kamu mau ngapain?” akan melatih anak mengevaluasi perasaannya sendiri. Proses ini penting untuk membentuk tanggung jawab emosional dan memperkuat kontrol diri secara bertahap.

Anak Semua Usia

Cerita dan permainan peran (role-play) adalah cara yang sangat efektif untuk mengajarkan regulasi emosi, apapun usia anak. Bacakan cerita yang mengangkat konflik emosional, lalu ajak anak mendiskusikan bagaimana tokoh dalam cerita menyelesaikan perasaannya. Ini membantu anak belajar melalui pengalaman tidak langsung yang lebih aman dan menyenangkan.

Permainan seperti “tebak emosi” juga bisa jadi kegiatan keluarga yang seru sekaligus edukatif. Mams bisa menirukan ekspresi wajah tertentu dan meminta anak menebaknya, lalu mendiskusikan situasi apa saja yang bisa memunculkan emosi tersebut. Kebiasaan kecil seperti ini sangat berpengaruh dalam mengembangkan kecerdasan emosional anak secara menyeluruh.

Mams juga bisa memanfaatkan momen sehari-hari untuk memperkuat keterampilan ini. Setelah anak mengalami konflik, coba ajak refleksi dengan pertanyaan lembut, “Tadi kamu marah ya? Yuk, kita cari cara meredakan emosi pada anak supaya besok kamu bisa ngomong tanpa teriak.” Pendekatan yang konsisten dan empatik ini akan membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih bijaksana dalam mengelola perasaannya.

Peran Orang Tua sebagai Role Model dan Co-Regulator

Apa yang anak lihat setiap hari di rumah akan menjadi dasar mereka dalam memahami dan meniru cara mengelola emosi. Ketika Mams bisa tetap tenang saat menghadapi situasi yang memancing stres, anak pun akan belajar bahwa ketenangan itu bisa dipelajari dan diterapkan. Sebaliknya, jika emosi sering diluapkan secara meledak-ledak, anak cenderung mengikuti pola yang sama. Inilah mengapa penting bagi orang tua untuk menjadi role model, menunjukkan bahwa perasaan boleh dirasakan, namun tetap bisa diatur dengan bijak.

Menurut teori socialization of emotion, anak belajar dari respons emosional orang tua, terutama saat mereka sendiri sedang mengalami emosi yang besar. Ketika Mams menanggapi anak dengan empati saat dia kecewa atau sedih, anak akan merasa bahwa perasaannya aman dan tidak perlu ditekan. Respon penuh pengertian seperti ini menjadi bekal anak dalam membangun keterampilan regulasi emosi yang sehat di kemudian hari.

Penelitian Nature menunjukkan bahwa pola emosi dalam keluarga saling memengaruhi. Ketika suasana rumah terasa stabil secara emosional, anak lebih mudah belajar mengatur dirinya. Maka, membangun budaya emosi yang sehat di rumah bukan hanya bermanfaat bagi anak, tapi juga bagi keseimbangan keluarga secara keseluruhan.

A Word From Navila

Mams, mengajarkan anak cara mengendalikan emosi pada anak bukan tentang menuntut mereka selalu tenang, tapi tentang menemani mereka memahami apa yang sedang dirasakan. Lewat pelukan, tatapan penuh pengertian, dan kehadiran yang hangat, anak akan merasa bahwa marah, sedih, atau takut adalah bagian dari tumbuh, dan semuanya bisa dilalui bersama.

Minyak Telon Terbaik Buat Bayi: Belanja Minyak Telon Navila

Agar proses ini berjalan lebih lembut dan menenangkan, ciptakan rutinitas sederhana yang membuat anak merasa aman. Seperti pelukan hangat setelah mandi, atau pijatan lembut sebelum tidur. Di momen-momen ini, Minyak Telon Navila bisa jadi teman setia Mams. Keharumannya yang menenangkan tak hanya membuat tubuh anak nyaman, tapi juga membantu menciptakan suasana hati yang damai. Dengan begitu, anak belajar bahwa mengelola emosi dimulai dari perasaan aman, penuh kasih, dan sentuhan yang penuh cinta.


References

  • Martin, R. E., & Ochsner, K. N. (2016). The neuroscience of emotion regulation development: Implications for education. Current opinion in behavioral sciences, 10, 142-148.
  • Willner, C. J., Hoffmann, J. D., Bailey, C. S., Harrison, A. P., Garcia, B., Ng, Z. J., … & Brackett, M. A. (2022). The development of cognitive reappraisal from early childhood through adolescence: A systematic review and methodological recommendations. Frontiers in Psychology, 13, 875964.
  • Psyche Central. The Importance of Validating Your Child’s Feelings. Retrieved from https://psychcentral.com/blog/the-powerful-parenting-tool-of-validation
  • Ratcliff, K. A., Vazquez, L. C., Lunkenheimer, E. S., & Cole, P. M. (2021). Longitudinal changes in young children’s strategy use for emotion regulation. Developmental psychology, 57(9), 1471.
  • Liu, F., Gao, C., Gao, H., & Liu, W. (2022). The automatic emotion regulation of children aged 8–12: an ERP study. Frontiers in Behavioral Neuroscience, 16, 921802.
  • Wyman, P. A., Cross, W., Hendricks Brown, C., Yu, Q., Tu, X., & Eberly, S. (2010). Intervention to strengthen emotional self-regulation in children with emerging mental health problems: Proximal impact on school behavior. Journal of abnormal child psychology, 38(5), 707-720.
  • Zimmer-Gembeck, M. J., Rudolph, J., Kerin, J., & Bohadana-Brown, G. (2022). Parent emotional regulation: A meta-analytic review of its association with parenting and child adjustment. International Journal of Behavioral Development, 46(1), 63-82.
  • Isdahl-Troye, A., Villar, P., Álvarez-Voces, M., & Romero, E. (2025). Unraveling the dynamics of emotional regulation and parental warmth across early childhood: prediction of later behavioral problems. Scientific Reports, 15(1), 23294.