Menjalani kehamilan memang membawa kebahagiaan, tapi terkadang kondisi medis mengharuskan Mams mengambil keputusan sulit demi kesehatan diri dan bayi. Salah satu prosedur yang mungkin sudah pernah Mams dengar adalah abortus medicinalis. Prosedur ini bukan tindakan sembarangan atau aborsi ilegal, melainkan cara dokter untuk menghentikan kehamilan secara aman dan terkontrol.

Abortus medicinalis biasanya dilakukan saat ada risiko kesehatan serius bagi Mams atau janin. Dalam artikel ini, kita akan membahas apa itu abortus medicinalis, kapan prosedur ini diperlukan, dan perbedaannya dengan aborsi biasa. Yuk, pahami bersama agar Mams bisa lebih tenang dan siap menghadapi pilihan medis yang ada.

Pengertian Abortus Medicinalis dalam Dunia Kedokteran

Abortus medicinalis adalah prosedur penghentian kehamilan yang dilakukan dengan obat-obatan, tanpa tindakan operasi. Umumnya, prosedur ini menggunakan kombinasi dua obat, yaitu mifepristone dan misoprostol, yang bekerja menghentikan perkembangan kehamilan dan merangsang kontraksi rahim.

Metode ini paling efektif dilakukan pada usia kehamilan maksimal 10 minggu (70 hari), dengan tingkat keberhasilan mencapai 95–99% Beberapa panduan medis internasional menyebutkan penggunaan hingga usia kehamilan 12 minggu, namun di Indonesia, batas maksimal usia kehamilan untuk aborsi akibat perkosaan adalah 6 minggu sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2016. Di luar itu, aborsi hanya diperbolehkan dalam kondisi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu atau janin.

Abortus medicinalis biasanya dipilih jika kehamilan:

  • Membahayakan kesehatan atau nyawa ibu,
  • Janin mengalami kelainan berat yang tidak dapat diperbaiki, atau
  • Terjadi akibat kekerasan seksual.

Prosedur ini harus dilakukan di bawah pengawasan tenaga medis dan setelah melalui konsultasi menyeluruh, untuk memastikan keamanan fisik dan mental ibu. Setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki aturan hukum yang ketat tentang pelaksanaan prosedur ini, sehingga penting untuk mengikuti regulasi yang berlaku.

Obat yang Digunakan dalam Abortus Medicinalis

Abortus medicinalis menggunakan dua obat utama, yaitu mifepristone dan misoprostol. Keduanya berkerja dengan saling melengkapi untuk menghentikan kehamilan secara medis. Mifepristone bekerja dengan menghambat hormon progesteron yang penting untuk menjaga kehamilan, sehingga lapisan rahim mulai menipis dan serviks membuka. 

Setelah 24–48 jam, misoprostol diberikan untuk merangsang kontraksi rahim. Kontraksi ini membantu mengeluarkan jaringan kehamilan dari dalam rahim. Obat ini bisa diberikan lewat mulut, bawah lidah, atau vagina sesuai petunjuk dokter.

Prosedur ini harus dilakukan di bawah pengawasan tenaga medis agar aman dan efektif. Dokter akan memantau usia kehamilan, kondisi kesehatan pasien, serta kemungkinan efek samping seperti perdarahan berlebihan. Dengan pengawasan tepat, kombinasi obat ini memiliki keberhasilan lebih dari 95% hingga kehamilan usia 10 minggu.

Prosedur Abortus Medicinalis dari Diagnosis hingga Pemulihan

Ada beberapa prosedur yang akan Mams lalui jika melakukan abortus medicinalis, yaitu:

1. Diagnosis dan Indikasi Medis

Tahap awal adalah memastikan kehamilan dengan tes hormon (β-hCG) dan USG. Ini penting untuk mengetahui usia dan lokasi janin. Abortus medicinalis hanya dianjurkan jika usia kehamilan belum lebih dari 10 minggu dan tidak ada risiko medis, seperti kehamilan ektopik.

2. Persetujuan Medis dan Etik

Sebelum prosedur, pasien diberi informasi lengkap tentang obat yang digunakan, yaitu mifepristone dan misoprostol. Risiko dan efek samping juga dijelaskan. Pasien harus memberikan persetujuan sadar (informed consent). Etika medis mengutamakan privasi dan menghormati keputusan pasien.

3. Konseling Pasien

Konseling membantu pasien memahami proses yang akan dijalani. Pasien juga diberi tahu gejala normal dan tanda komplikasi yang harus diwaspadai. Konseling psikologis diberikan agar pasien siap mental. Edukasi kontrasepsi pasca-aborsi juga penting untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.

4. Pemantauan Setelah Prosedur

Setelah minum obat, pasien dipantau agar tidak terjadi perdarahan berlebihan, demam, atau nyeri hebat. Pemeriksaan lanjutan biasanya dilakukan 1-2 minggu setelahnya. Tujuannya untuk memastikan kehamilan benar-benar berhenti dan rahim bersih.

Jika masih ada sisa jaringan (abortus inkomplit), tindakan tambahan seperti kuretase mungkin diperlukan. Dukungan psikologis selama masa pemulihan juga penting. Penggunaan kontrasepsi segera setelah prosedur sangat dianjurkan demi kesehatan reproduksi ke depan.

Legalitas Abortus Medicinalis di Indonesia

Di Indonesia, praktik abortus medicinalis diatur ketat oleh Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2016. Prosedur ini hanya diizinkan dalam kondisi tertentu, seperti kehamilan akibat perkosaan atau saat kehamilan mengancam nyawa ibu dan/atau janin mengalami kelainan berat yang tidak dapat disembuhkan.

Untuk kasus kehamilan akibat perkosaan, abortus hanya boleh dilakukan jika usia kehamilan belum melebihi 6 minggu sejak hari pertama haid terakhir (HPHT). Pada kondisi medis darurat, batas usia kehamilan dapat lebih fleksibel, namun tetap harus berdasarkan evaluasi tim medis yang kompeten.

Penting untuk diketahui bahwa prosedur ini hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) di fasilitas pelayanan kesehatan resmi yang ditunjuk pemerintah. Selain itu, pelaksanaan aborsi memerlukan persetujuan tertulis dari ibu, dan jika memungkinkan, dari suami. Pada kasus kekerasan seksual, persetujuan ibu saja sudah cukup.

Melakukan aborsi di luar ketentuan hukum dapat dikenakan sanksi pidana, termasuk denda dan hukuman penjara. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa tindakan abortus medicinalis bukan hanya soal keputusan medis, tetapi juga menyangkut aspek hukum dan etika profesional.

Efek Samping dan Proses Pemulihan

Setelah melakukan abortus medicinalis, akan ada beberapa efek samping yang akan dialami Mams, yaitu:

Efek Samping Fisik

Setelah abortus medicinalis, tubuh akan mengalami perdarahan vagina. Darah yang keluar biasanya lebih banyak dari haid biasa. Perdarahan ini bisa berlangsung hingga dua minggu. Kram perut seperti saat menstruasi juga umum terjadi. Obat pereda nyeri dapat membantu mengurangi rasa sakit.

Selain itu, beberapa efek samping lain bisa muncul, seperti mual, muntah, diare, pusing, dan demam ringan. Namun, gejala ini biasanya hanya sementara. Komplikasi serius, seperti perdarahan berat atau infeksi, sangat jarang terjadi jika prosedur dilakukan dengan pengawasan medis yang tepat.

Efek Psikologis

Secara psikologis, beberapa orang mungkin merasa sedih, cemas, atau menyesal setelah prosedur. Perasaan ini sering dipengaruhi oleh tekanan sosial atau kurangnya dukungan, bukan karena prosedur itu sendiri.

Istilah post-abortion syndrome tidak diakui secara ilmiah oleh organisasi kesehatan mental besar. Penelitian justru menunjukkan bahwa aborsi tidak meningkatkan risiko gangguan mental. Sebaliknya, anak yang tidak mendapat akses ke aborsi legal lebih berisiko mengalami stres dan kecemasan.

A Word From Navila

Abortus medicinalis adalah prosedur medis yang menggunakan obat-obatan untuk menghentikan kehamilan dalam kondisi tertentu. Meski bukan pilihan yang mudah, prosedur ini dapat menjadi langkah penting demi keselamatan ibu dan harus dilakukan dengan pengawasan dokter spesialis yang berwenang, seperti dokter kandungan.

Memahami setiap pilihan medis dengan kepala dingin adalah bagian dari merawat diri secara menyeluruh, baik secara fisik maupun emosional. Jika Mams sedang berada di situasi sulit, penting untuk tetap tenang dan mencari dukungan yang tepat.

Untuk membantu Mams meredakan kecemasan dan menjaga ketenangan pikiran di tengah situasi penuh tekanan, Mams bisa membaca artikel berikut ini: Aromaterapi Lavender untuk Kecemasan. Siapa tahu, ketenangan bisa dimulai dari hal sederhana.


References

  • Cleveland Clinic. Medical Abortion. Retrieved from https://my.clevelandclinic.org/health/treatments/21899-medical-abortion
  • Macnaughton, H., Nothnagle, M., & Early, J. (2021). Mifepristone and misoprostol for early pregnancy loss and medication abortion. American Family Physician, 103(8), 473-480. https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2021/0415/p473.html
  • NCBI. Abortion. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518961/
  • Indonesia, R. (2009). Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta Republik Indones. 
  • Peraturan BPK. Pelatihan Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis Dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Retrieved from https://peraturan.bpk.go.id/Details/112979/permenkes-no-3-tahun-2016
  • Verywell Mind. What Is Post-Abortion Stress Syndrome? Retrieved from https://www.verywellmind.com/post-abortion-stress-syndrome-what-to-know-6831238
  • Healthline. When to Consider Post-Abortion Counseling and How to Find It. Retrieved from https://www.healthline.com/health/post-abortion-counseling