Persalinan sering digambarkan sebagai momen penuh haru setelah perjuangan panjang selama kehamilan. Namun, ada satu kondisi serius yang bisa terjadi tepat setelah bayi lahir, dan sering luput dari perhatian. Namanya atonia uteri, yaitu saat rahim gagal berkontraksi usai melahirkan. Kondisi ini bisa memicu perdarahan hebat yang mengancam keselamatan ibu jika tidak segera ditangani.

Atonia uteri adalah penyebab utama dari perdarahan pasca persalinan atau postpartum hemorrhage. Di Indonesia, komplikasi ini masih menjadi salah satu penyebab tertinggi kematian ibu. Kabar baiknya, kondisi ini bisa dikenali sejak masa kehamilan dan dicegah. Yuk, Mams, pelajari lebih lanjut agar bisa menghadapi persalinan dengan lebih siap dan tenang.

Mengapa Atonia Uteri Bisa Terjadi?

Setelah bayi dan plasenta dilahirkan, rahim seharusnya langsung berkontraksi untuk menghentikan aliran darah dari tempat melekatnya plasenta. Kontraksi ini sangat penting karena akan menjepit pembuluh darah yang terbuka dan menghentikan perdarahan. Bila kontraksi tidak terjadi atau tidak cukup kuat, darah akan terus keluar, dan inilah yang disebut sebagai atonia uteri, kegagalan kontraksi rahim pasca persalinan.

Pada kondisi ini, rahim terasa lembek saat diraba dan tidak efektif menutup pembuluh darah, sehingga perdarahan terus berlangsung. Dalam dunia medis, kondisi ini juga dikenal sebagai inertia uteri, yang mencerminkan ketidakaktifan otot rahim. Atonia bisa terjadi secara tiba-tiba dan perlu penanganan segera untuk mencegah syok atau bahkan kematian.

Menurut data WHO, sekitar 70–80% kasus pendarahan pasca persalinan (PPH) disebabkan oleh atonia uteri. Dalam pendekatan medis dikenal istilah “4T” sebagai penyebab perdarahan pascapersalinan, yaitu Tone (kontraksi), Trauma, Tissue, dan Thrombin. Atonia uteri berada di urutan pertama, menunjukkan bahwa gangguan kontraksi rahim adalah penyebab dominan. Oleh karena itu, mengenali tanda dan memahami penyebabnya adalah langkah awal yang sangat penting untuk menyelamatkan nyawa.

Faktor Risiko Atonia Uteri yang Sering Terlewat

Banyak Mams belum menyadari bahwa risiko atonia uteri bisa dikenali bahkan sejak masa kehamilan. Beberapa faktor risiko berkaitan langsung dengan kondisi kehamilan, seperti kehamilan kembar, volume air ketuban yang berlebihan (polihidramnion), bayi berukuran besar (makrosomia), serta usia ibu di atas 35 tahun. Semua ini dapat menyebabkan rahim meregang lebih dari normal dan akhirnya sulit untuk kembali berkontraksi setelah bayi lahir.

Faktor lain juga bisa muncul selama proses persalinan. Misalnya, penggunaan obat induksi seperti oksitosin dalam waktu lama dapat membuat rahim menjadi kurang responsif. Selain itu, persalinan yang terlalu cepat atau terlalu lama bisa membuat otot rahim kelelahan. Penggunaan anestesi umum, infeksi seperti chorioamnionitis, atau riwayat preeklampsia juga dapat memengaruhi kemampuan rahim untuk berkontraksi secara normal.

Jangan lupakan juga faktor riwayat medis. Mams yang pernah mengalami atonia uteri sebelumnya memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalaminya kembali. Kondisi seperti obesitas, fibroid rahim, atau anemia berat juga dapat memperbesar peluang terjadinya atonia. Studi dari Europe PMC menyebutkan bahwa ibu hamil dengan dua atau lebih faktor risiko tersebut harus mendapat perhatian khusus dan perencanaan persalinan yang matang.

Deteksi dan Penanganan

Tanda utama atonia uteri adalah perdarahan hebat setelah persalinan, yaitu lebih dari 500 ml untuk persalinan normal atau lebih dari 1000 ml saat operasi caesar. Selain itu, Mams bisa merasakan rahim terasa lembek saat disentuh, pendarahan terus-menerus, tubuh lemas, denyut nadi cepat, dan tekanan darah menurun. Semua ini adalah tanda kegawatdaruratan yang perlu segera ditangani.

Langkah pertama penanganannya adalah dengan uterine massage atau pijatan rahim untuk merangsang kontraksi. Bersamaan dengan itu, dokter akan memberikan obat uterotonika seperti oksitosin, misoprostol, atau ergometrin untuk memperkuat kontraksi rahim. Bila tidak berhasil, tindakan lanjutan seperti pemasangan balon tamponade atau teknik kompresi rahim (B-Lynch suture) mungkin diperlukan. Dalam situasi ekstrem, prosedur histerektomi (pengangkatan rahim) bisa menjadi jalan terakhir demi menyelamatkan nyawa ibu.

Mengingat atonia uteri dapat berkembang cepat, penting bagi Mams untuk melahirkan di fasilitas kesehatan yang lengkap dan memiliki tenaga medis terlatih. Fasilitas seperti ruang operasi darurat, unit transfusi darah, dan obat-obatan penyelamat jiwa harus tersedia. Kesiapan ini akan sangat menentukan keselamatan Mams jika terjadi komplikasi tak terduga.

Mencegah Atonia Uteri, Apa yang Bisa Dilakukan?

Meski tidak semua kasus bisa dicegah, namun risiko atonia uteri dapat dikurangi secara signifikan melalui perawatan kehamilan yang tepat. Salah satu langkah awal adalah dengan rutin memeriksakan diri dan menangani kondisi medis penyerta seperti anemia. WHO merekomendasikan konsumsi zat besi sejak trimester kedua untuk membantu menjaga cadangan darah dan oksigen selama persalinan.

Selain itu, pemantauan berat badan janin, tekanan darah, dan kondisi rahim secara rutin dapat membantu dokter mendeteksi potensi risiko lebih dini. Jika Mams memiliki kehamilan kembar, obesitas, atau riwayat medis tertentu, maka penyusunan birth plan bersama dokter sangat dianjurkan. Ini termasuk memilih lokasi persalinan dengan fasilitas lengkap dan menyiapkan kemungkinan intervensi medis jika dibutuhkan.

Edukasi kepada pasangan dan keluarga juga tak kalah penting. Bila terjadi kondisi darurat, dukungan orang terdekat dalam mengambil keputusan cepat bisa menyelamatkan nyawa. Dengan kesiapan menyeluruh, baik secara fisik, mental, dan logistik, Mams dapat menjalani persalinan dengan lebih tenang, meski menghadapi risiko atonia uteri sekalipun.

A Word From Navila

Setelah proses persalinan, tubuh Mams butuh waktu untuk pulih, termasuk otot-otot perut yang sempat meregang selama kehamilan. Salah satu kondisi yang cukup umum terjadi adalah diastasis recti, yaitu terpisahnya otot perut kanan dan kiri akibat tekanan dari pertumbuhan janin. Pemulihan kondisi ini bukan hanya soal latihan fisik, tapi juga soal memahami perubahan tubuh secara menyeluruh.

Untuk mendukung pemulihan lebih cepat dan menghindari keluhan seperti nyeri punggung atau kelemahan otot inti, Mams perlu mengetahui langkah-langkah pemulihan yang tepat sejak awal. Yuk, simak panduan lengkap tentang pemulihan pasca melahirkan dan cara merawat tubuh agar kembali bugar di artikel berikut ini: Pemulihan Pasca Melahirkan Normal.


References

  • Gill, P., Patel, A., & Van Hook, J. W. (2018). Uterine atony.
  • WHO. Second global call for data on postpartum haemorrhage. Retrieved from https://www.who.int/news-room/articles-detail/second-global-call-for-data-on-postpartum-haemorrhage
  • Gülmezoglu, A. M. (Ed.). (2009). WHO guidelines for the management of postpartum haemorrhage and retained placenta. World Health Organization.
  • WHO. Guideline on Prevention and Management of PPH. Retrieved from https://platform.who.int/docs/default-source/mca-documents/policy-documents/operational-guidance/BRN-MN-32-03-OPERATIONALGUIDANCE-eng-Prevention-Management-PPH.pdf