Istilah brainrot belakangan semakin sering muncul di media sosial dan membuat banyak orang tua mulai bertanya-tanya. Kondisi ini kerap digunakan untuk menggambarkan si kecil atau remaja yang terlihat sulit fokus, cepat bosan, mudah terdistraksi, dan baru benar-benar responsif saat berhadapan dengan layar gawai. Pola ini terasa makin akrab dalam keseharian, terutama di tengah maraknya konten digital yang serba cepat dan instan.
Meski terdengar seperti istilah bercanda atau sekadar slang Gen Z, brainrot bukanlah konsep yang bisa dianggap ringan. Di balik penyebutannya yang santai, fenomena ini berkaitan erat dengan cara kerja otak yang sedang berkembang, khususnya sistem yang mengatur rasa senang, fokus, dan motivasi. Karena itu, memahami fenomena ini menjadi penting agar orang tua tidak sekadar menyalahkan perilaku, tetapi mampu melihat akar permasalahannya.
Melalui artikel ini, Mams akan diajak memahami apa itu brainrot dari sudut pandang ilmiah yang mudah dipahami, bagaimana prosesnya bisa terjadi, dampaknya pada tumbuh kembang si kecil, serta alasan mengapa pendampingan orang tua memegang peran besar dalam membentuk kebiasaan digital yang lebih sehat.
Apa Itu Brainrot?
Brainrot adalah istilah populer yang muncul dari pengalaman nyata banyak orang di era digital. Sebutan ini digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika fokus, daya pikir, dan kendali emosi terasa menurun setelah terlalu sering terpapar konten digital yang cepat dan dangkal. Meski bukan diagnosis medis resmi, istilah ini mewakili perubahan nyata pada pola kerja otak yang telah lama dibahas dalam riset psikologi dan perkembangan saraf. Dengan kata lain, istilah yang viral ini sebenarnya merangkum fenomena yang benar-benar terjadi.
Secara sederhana, brainrot adalah kondisi ketika otak terlalu sering menerima rangsangan instan tanpa jeda. Video pendek, scroll tanpa henti, dan konten yang terus berganti memberikan “hadiah kecil” berupa rasa senang secara cepat. Lama-kelamaan, otak terbiasa dengan kepuasan instan tersebut dan menjadi kurang responsif terhadap aktivitas yang membutuhkan fokus lebih lama, seperti membaca atau mendengarkan cerita. Inilah yang membuat aktivitas tenang terasa lebih melelahkan.
Kelompok yang paling rentan terhadap kondisi ini adalah anak-anak, karena otaknya masih dalam tahap perkembangan. Bagian otak yang mengatur fokus, kontrol diri, dan pengambilan keputusan belum bekerja optimal. Di sisi lain, kemampuan otak untuk membentuk kebiasaan baru masih sangat tinggi. Jika sejak dini otak lebih sering dilatih dengan stimulasi instan, jalur fokus jangka panjang bisa kurang terasah. Karena itulah, brainrot adalah kondisi yang dampaknya bisa lebih besar pada anak dibandingkan orang dewasa.
Bagaimana Brainrot Terjadi pada Anak?
Paparan konten digital yang cepat dan berulang memicu pelepasan dopamin, yaitu zat kimia di otak yang memunculkan rasa senang dan keinginan untuk mengulang pengalaman yang sama. Video pendek, animasi cepat, dan konten yang terus berganti memberi rangsangan kuat dalam waktu singkat. Jika hal ini terjadi terus-menerus, otak terbiasa berada pada tingkat stimulasi yang tinggi dan mulai menganggap aktivitas sehari-hari sebagai sesuatu yang kurang menarik.
Seiring waktu, ambang rangsang otak pun meningkat. Artinya, otak membutuhkan stimulus yang semakin kuat untuk merasa tertarik. Aktivitas seperti belajar, membaca, atau mendengarkan cerita tidak lagi memberikan kepuasan yang sama. Kondisi ini sering disalahartikan sebagai malas, padahal sebenarnya otak sedang beradaptasi dengan pola reward yang terbentuk dari layar. Pada titik ini, brainrot adalah hasil dari kebiasaan, bukan persoalan niat atau kemampuan.
Kondisi tersebut semakin kuat karena bagian otak yang berperan mengatur fokus dan kontrol diri masih berkembang. Pada anak, fungsi ini belum stabil dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Ketika sejak dini lebih sering terpapar stimulasi cepat, otak jarang mendapat kesempatan untuk melatih fokus bertahap. Semakin dini dan lama paparannya, semakin kuat pula pola brainrot yang terbentuk.
Dampak Brainrot pada Perkembangan Anak
Dampak paparan konten digital berlebihan sering kali tidak muncul secara tiba-tiba. Perubahannya terjadi perlahan dan tampak seperti fase biasa, sehingga kerap luput dari perhatian. Padahal, brainrot adalah kondisi yang dapat memengaruhi cara berpikir, fokus, dan emosi si kecil, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dampak Jangka Pendek
Dalam jangka pendek, perhatian menjadi lebih mudah terpecah. Aktivitas yang membutuhkan konsentrasi lebih lama terasa membosankan, sehingga otak seperti terus mencari hiburan baru. Inilah alasan mengapa dia tampak sulit duduk tenang atau menyelesaikan satu aktivitas sampai tuntas.
Selain itu, kemampuan merencanakan dan menyelesaikan tugas juga bisa terganggu. Si kecil lebih sering berhenti di tengah jalan karena terbiasa dengan pergantian rangsangan yang cepat. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena otaknya belum terbiasa bertahan pada satu proses dalam waktu lama.
Dari sisi emosi, toleransi terhadap rasa frustrasi pun menurun. Konten digital memberikan kepuasan instan tanpa usaha, sehingga saat berhadapan dengan proses yang pelan, emosi menjadi kurang stabil. Dia lebih mudah kesal, cepat menyerah, atau minta bantuan sebelum mencoba sendiri.
Dampak Jangka Panjang
Jika berlangsung lama, kemampuan berpikir mendalam bisa ikut menurun. Otak jarang dilatih untuk bertahan pada satu alur berpikir yang utuh, sehingga terbiasa dengan informasi yang dangkal dan cepat. Dampaknya sering baru terasa saat memasuki usia sekolah, ketika tuntutan fokus dan analisis mulai meningkat.
Interaksi langsung yang berkurang juga dapat memengaruhi perkembangan bahasa dan emosi. Percakapan dua arah sangat penting untuk memahami makna kata dan perasaan. Tanpa interaksi yang cukup, dia mungkin lancar meniru kata, tetapi kurang memahami konteks dan ekspresi emosi.
Dampak lain yang sering luput disadari adalah menurunnya daya tahan terhadap proses dan usaha. Keinginan untuk hasil instan menjadi lebih dominan, sementara ketekunan perlahan melemah. Pada usia dini, pola ini berisiko mengganggu fondasi belajar dan daya juang ke depannya.
Apakah Brainrot Bisa Dicegah?
Kabar baiknya, brainrot bisa dicegah dan bahkan diperbaiki, terutama jika dikenali sejak awal. Otak anak bersifat plastis, artinya masih sangat mungkin dibentuk ulang melalui kebiasaan yang lebih sehat. Ketika paparan konten cepat dikurangi, kemampuan fokus dan regulasi emosi perlahan dapat membaik. Di sinilah peran orang tua menjadi kunci utama.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kualitas konten jauh lebih berpengaruh dibanding sekadar durasi layar. Konten pasif seperti scrolling tanpa interaksi lebih berkaitan dengan gangguan perhatian. Sebaliknya, konten edukatif yang ditonton bersama orang tua dapat membantu proses belajar. Aktivitas non-digital seperti bermain bebas, membaca buku, dan mengobrol terbukti melatih fokus serta kemampuan berpikir bertahap.
Karena itu, peran Mams bukan hanya membatasi waktu layar, tetapi mengatur keseimbangan stimulasi harian. Orang tua menentukan apa yang ditonton, kapan digunakan, dan bagaimana teknologi hadir dalam keseharian. Tujuannya bukan menjauhkan si kecil dari teknologi, melainkan membantu otaknya tumbuh seimbang di tengah dunia digital yang tak terelakkan.
A Word From Navila
Brainrot bukan sekadar istilah viral, tetapi gambaran nyata tentang bagaimana otak si kecil dapat terbentuk oleh paparan stimulasi digital yang terlalu cepat dan instan. Ketika otak terbiasa dengan rangsangan tinggi tanpa jeda, fokus, regulasi emosi, dan kemampuan berpikir mendalam bisa ikut terpengaruh. Kondisi ini bukan terjadi karena dia malas atau kurang mampu, melainkan karena otaknya sedang menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapinya setiap hari.
Kabar baiknya, otak anak masih sangat fleksibel. Dengan pendampingan yang tepat dan stimulasi yang lebih seimbang, pola ini bisa dicegah bahkan diperbaiki. Salah satu langkah sederhana yang bisa Mams lakukan adalah mengajak si kecil kembali menikmati aktivitas yang melibatkan gerak, sentuhan, dan fokus bertahap. Latihan motorik halus tidak hanya melatih keterampilan tangan, tetapi juga membantu menguatkan koneksi otak yang berperan dalam konsentrasi dan kontrol diri.
Jika Mams ingin mengetahui aktivitas apa saja yang bisa dilakukan di rumah, lanjutkan membaca panduan lengkapnya di: Ketahui Latihan Motorik Halus Anak Usia 0-5 Tahun, Apa Saja?
References
- Kementerian Pertahanan. ANCAMAN BRAIN ROT MENGHANTUI GEN Z (SEBUAH RENUNGAN DALAM KEKAWATIRAN). Retrieved from https://www.kemhan.go.id/balitbang/2025/01/07/mengenali-ancaman-dan-menghadapinya-pendatang-pegungsi-imigran-2.html
- Children and Screens. ADHD Youth and Digital Media Use. Retrieved from https://www.childrenandscreens.org/learn-explore/research/adhd-youth-and-digital-media-use/
- Brain Research. Impact of digital addiction tendency on inhibitory control in preschoolers: An fNIRS study. Retrieved from https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006899325004299
- MDPI. Impact of Screen Time on Development of Children. Retrieved from https://www.mdpi.com/2227-9067/12/10/1297
- Europe PMC. [Potential effects of screen media on cognitive development among children under 3 years old: review of literature]. Retrieved from https://europepmc.org/article/med/27416629





