Ketika suara tangis si kecil bersatu dengan amarah dari orang tua, sering kali bukan pemahaman yang tertinggal, melainkan luka yang tak terlihat. Dia mungkin terdiam bukan karena mengerti kesalahan, melainkan karena takut. Di saat seperti itu, bukan pembelajaran yang terjadi, tapi terputusnya rasa aman. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kasih sayang, perlahan berubah menjadi sumber kecemasan tersembunyi.

Penelitian dalam bidang neurologi dan psikologi perkembangan mengungkap bahwa tekanan emosional akibat sering dimarahi atau dipukul tak hanya meninggalkan bekas secara perasaan, tapi juga berdampak langsung pada struktur dan cara kerja otak si kecil. Dampak anak sering dimarahi dan dipukul bahkan bisa membentuk pola stres kronis yang merusak kepercayaan dirinya dan membuatnya tumbuh dengan rasa takut berlebih. Ketakutan yang terus berulang memicu stres berkepanjangan yang mengganggu kemampuannya dalam berpikir jernih, mengelola emosi, dan memahami lingkungan sosial.

Melalui artikel ini, Mams akan diajak melihat lebih dalam dampak anak sering dimarahi dan dipukul, serta bagaimana mengubah pendekatan menjadi lebih membangun, tanpa kehilangan arah pengasuhan.

Luka Emosional, Saat Rasa Takut Menggantikan Rasa Aman

Ketika si kecil sering mendapat teguran keras atau pukulan, rasa aman dalam dirinya mulai luntur. Dia tumbuh dengan kewaspadaan yang berlebihan, seolah setiap tindakannya bisa menjadi alasan untuk dimarahi. Dalam situasi seperti ini, tubuhnya memproduksi hormon stres (kortisol) secara terus-menerus, yang membuatnya sulit merasa tenang. Ketimbang merasa dekat dan terlindungi, dia justru mulai menjauh secara emosional, bahkan dari orang tuanya sendiri.

Sayangnya, di usia dini, otak belum mampu memahami bahwa kemarahan orang tua mungkin dimaksudkan untuk mengajarkan sesuatu. Yang terekam justru emosi negatif yang kuat. Menurut Harvard Center on the Developing Child, paparan stres berulang menyebabkan bagian otak bernama amigdala, pusat rasa takut, menjadi terlalu aktif. Sebaliknya, prefrontal cortex, area yang berperan dalam pengendalian diri dan berpikir logis, belum berkembang optimal. Akibatnya, si kecil lebih sering bereaksi dengan ketakutan dibanding belajar dari pengalamannya.

Perubahan ini tampak jelas dalam keseharian. Dia bisa menjadi lebih pendiam, mudah merasa cemas, atau bahkan takut mencoba hal baru karena khawatir berbuat salah. Ada pula yang menjadi sangat bergantung, merasa aman hanya jika terus diawasi. Dalam jangka panjang, dampak anak sering dimarahi dan dipukul membentuk luka emosional yang dalam, di mana rumah tak lagi terasa sebagai tempat berlindung, melainkan ruang yang penuh tekanan. Untuk mengembalikan rasa aman itu, kehadiran orang tua dengan empati dan kehangatan jadi kunci utama.

Efek pada Otak, Kekerasan Mengubah Cara Anak Berpikir dan Belajar

Kemarahan dan hukuman fisik yang berulang mengaktifkan respons stres secara intens pada tubuh si kecil. Hormon kortisol dilepaskan dalam jumlah besar, dan bila terus terjadi, ini menyebabkan apa yang disebut toxic stress. Menurut penelitian Harvard, kondisi ini bisa mengganggu perkembangan otak, terutama dalam fungsi belajar dan pengaturan emosi. Si kecil pun jadi lebih mudah merasa tertekan, sulit fokus, dan kesulitan menenangkan diri dalam situasi sulit.

Yang paling terdampak adalah prefrontal cortex, wilayah otak yang bertugas mengatur logika, kendali diri, dan empati. Studi dari Child Development menemukan bahwa anak yang mengalami kekerasan, baik verbal maupun fisik, menunjukkan aktivitas berlebihan pada area otak ini, membuat otaknya seperti “selalu siaga menghadapi bahaya”. Ini menyebabkan si kecil kesulitan berpikir jernih, apalagi belajar dari kesalahan. Dengan kata lain, pendekatan penuh amarah justru membuat kemampuan berpikirnya semakin terhambat.

American Academy of Pediatrics juga mencatat bahwa paparan kekerasan dalam pengasuhan bisa menyebabkan gangguan ingatan, konsentrasi, dan kemampuan belajar. Kortisol yang terus menerus dilepaskan membuat sambungan antar sel otak (neuron) menjadi lebih lemah, terutama di bagian yang mengatur fokus dan daya serap informasi. Mams mungkin menyadari si kecil jadi pelupa, mudah panik, atau kesulitan memahami pelajaran. Bukan karena kurang cerdas, tapi karena otaknya terbiasa belajar dalam situasi penuh tekanan. Dampak anak sering dimarahi dan dipukul pun bukan hanya terlihat secara emosional, tetapi juga dalam performa akademik dan fungsi otaknya sehari-hari.

Navila All Products

Pola Perilaku Menular, Anak Meniru Kekerasan Sebagai Bahasa Hubungan

Cara si kecil memperlakukan orang lain, banyak dipengaruhi dari apa yang dia amati di rumah. Ketika kemarahan dan hukuman keras menjadi rutinitas, dia menyerap itu sebagai pola komunikasi yang normal. Dalam teori Social Learning dari Albert Bandura, anak bukan hanya meniru perilaku yang dialami, tapi juga yang dilihat. Maka, saat kekerasan hadir dalam interaksi keluarga, dia belajar bahwa marah dan menyakiti adalah cara untuk menyampaikan perasaan.

Respons ini bisa muncul dalam dua arah. Ada yang menjadi agresif, mudah marah, memukul, atau melawan ketika frustrasi. Ada pula yang menjadi terlalu penurut, menahan perasaan, dan cenderung menarik diri. Studi dari Child Abuse & Neglect dan Frontiers menunjukkan bahwa anak yang mengalami hukuman fisik lebih cenderung mengembangkan perilaku agresif atau kesulitan dalam menjalin hubungan sosial. Dia tidak belajar dari nasihat, melainkan dari pengalaman emosional yang dirasakan secara berulang. Maka tak heran, dampak anak sering dimarahi dan dipukul juga bisa menjalar menjadi kesulitan dalam membangun relasi sehat saat dewasa.

Dalam jangka panjang, hal ini mempengaruhi cara si kecil memaknai hubungan antarmanusia. Dia bisa tumbuh dengan pemahaman keliru bahwa cinta dan kekerasan bisa berjalan bersama, atau bahwa untuk didengar, seseorang harus bersuara lebih keras. Padahal, riset Journal of Family Psychology menunjukkan bahwa pendekatan tenang dan konsisten justru lebih efektif dalam membentuk perilaku positif. Saat Mams menunjukkan sikap lembut namun tegas, Mams sedang menanamkan nilai komunikasi penuh kasih, bukan ketakutan.

Cara Menghentikan Siklus Kekerasan dengan Disiplin Positif

Disiplin seharusnya menjadi alat untuk mengajarkan, bukan menghukum. Inilah yang menjadi dasar Positive Discipline, sebuah pendekatan yang dikembangkan Dr. Jane Nelsen berdasarkan teori psikologi Adlerian. Pendekatan ini menekankan pentingnya rasa keterhubungan (belonging) dan kebermaknaan diri (significance) dalam diri anak. Ketika si kecil merasa dihargai dan dimengerti, dia lebih mudah belajar mengatur diri, dibanding saat dia dipaksa patuh karena takut.

Disiplin positif berdiri di atas tiga prinsip utama, yaitu validasi emosi, konsekuensi logis, dan refleksi. Validasi memungkinkan si kecil merasa dimengerti sebelum diarahkan. Sementara konsekuensi logis membantu dia memahami akibat dari perbuatannya dengan cara yang tetap manusiawi. Proses refleksi setelah konflik juga penting, agar dia tumbuh dengan kesadaran dan empati, bukan rasa malu atau bersalah berlebihan. Pendekatan ini menumbuhkan pengendalian diri dari dalam, bukan karena tekanan dari luar.

Namun, penerapannya tentu butuh kesabaran, terutama saat orang tua sedang lelah, stres, atau emosi. Itulah mengapa mengelola emosi diri menjadi langkah pertama. Menarik napas dalam, memberi jeda, atau menghitung sampai sepuluh bisa menjadi cara sederhana untuk merespons dengan lebih tenang. 

Studi Child Psychiatry & Human Development menunjukkan bahwa orang tua yang menerapkan prinsip disiplin positif tidak hanya lebih sedikit marah, tapi juga memiliki hubungan yang lebih dekat dengan anak. Dengan pendekatan ini, dampak anak sering dimarahi dan dipukul dapat dicegah sejak dini, dan digantikan dengan pola komunikasi yang lebih sehat dan mendukung tumbuh kembang optimal.

A Word From Navila

Mams, tidak ada orang tua yang sempurna. Kita semua pernah berada di titik lelah, kecewa, atau kehilangan kendali. Namun yang paling penting bukanlah menghindari kesalahan sepenuhnya, melainkan keberanian untuk memperbaiki. Ketika bentakan berubah menjadi pelukan, ketika kemarahan diganti dengan jeda untuk memahami, si kecil belajar sesuatu yang jauh lebih bermakna, tentang cinta, kepercayaan, dan keamanan.

Jika Mams ingin mulai membangun pola komunikasi yang lebih tenang namun tetap tegas, kini saatnya mengenal pendekatan ScreamFree Parenting. Ini adalah cara mendidik yang tidak bertumpu pada amarah, melainkan pada kesadaran diri dan koneksi emosional. Selengkapnya bisa Mams pelajari di: Cara Menerapkan Pola Asuh Tanpa Bentakan (ScreamFree) di Tengah Banyak Tekanan.


References

  • Harvard University. Excessive Stress Disrupts the Architecture of the Developing Brain. Retrieved from https://developingchild.harvard.edu/resources/working-paper/wp3/
  • Psychology Writing. Impact of Childhood Trauma on Brain Development and Adulthood. Retrieved from https://psychologywriting.com/impact-of-childhood-trauma-on-brain-development-and-adulthood/
  • Harvard University. Stress and Development Research Links Spanking to Changes in Children’s Brain Function. Retrieved from https://sdlab.fas.harvard.edu/news/stress-and-development-research-links-spanking-changes-childrens-brain-function
  • Cuartas, J., Weissman, D. G., Sheridan, M. A., Lengua, L., & McLaughlin, K. A. (2021). Corporal punishment and elevated neural response to threat in children. Child development, 92(3), 821-832.
  • HealthyChildren. American Academy of Pediatrics Updates Policy on Corporal Punishment. Retrieved from https://www.healthychildren.org/English/news/Pages/AAP-Updates-Corporal-Punishment-Policy.aspx
  • Simply Psychology. Albert Bandura’s Social Learning Theory. Retrieved from https://www.simplypsychology.org/bandura.html
  • Pan, Q., Chen, S., & Qu, Y. (2024). Corporal punishment and violent behavior spectrum: a meta-analytic review. Frontiers in psychology, 15, 1323784.
  • Carroll, P. (2022). Effectiveness of positive discipline parenting program on parenting style, and child adaptive behavior. Child Psychiatry & Human Development, 53(6), 1349-1358.
  • Kang, J. (2022). Spanking and children’s social competence: Evidence from a US kindergarten cohort study. Child abuse & neglect, 132, 105817.
  • Mendez, M., Durtschi, J., Neppl, T. K., & Stith, S. M. (2016). Corporal punishment and externalizing behaviors in toddlers: The moderating role of positive and harsh parenting. Journal of Family Psychology, 30(8), 887.
  • Positive Discipline. A History of Positive Discipline. Retrieved from https://www.positivediscipline.com/articles/history-positive-discipline/