Tradisi ibu dan anak di Bali telah diwariskan dari generasi ke generasi untuk mencerminkan kearifan lokal serta kepercayaan masyarakat Bali.
Dalam budaya Bali, kesehatan ibu dan anak sangat dijaga dengan berbagai ritual dan praktik yang memiliki makna mendalam.
Untuk itu, kali ini kita akan membahas tradisi budaya Bali dalam kesehatan ibu dan anak, sebagai informasi dan referensi Bunda sebelum mengunjungi Bali dan untuk pengetahuan tambahan.
Simak sampai habis ya!
Tradisi Budaya Bali dalam Kesehatan Ibu dan Anak
Masyarakat adat Bali dikenal dengan kearifan lokal yang kaya dan unik.
Salah satu aspek penting dalam kehidupan mereka adalah ritual adat yang sangat terintegrasi dengan nilai-nilai religius.
Ritual ini bukan hanya sebuah tradisi, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap aspek kesehatan ibu dan anak.Â
Dalam masyarakat Bali, ritual adat seringkali mencakup upaya-upaya kesehatan yang bertujuan untuk menjaga kesejahteraan ibu dan anak secara mendalam.
Berikut beberapa prosesi tradisi terkait kesehatan ibu dan anak di Bali.
Upacara Kehamilan (Magedong-gedongan)
Kata “gedong” berasal dari “gua garba,” di mana “gua” memiliki arti “pintu yang dalam” atau “pintu yang ada di dalam,” dan “garba” berarti “perut.”
Dengan demikian, “gua garba” merujuk pada pintu yang dalam yang berada di perut ibu, tempat kehidupan pertama seorang bayi dimulai.
Menurut tradisi Kanda Pat Rare (yang mengajarkan bahwa setiap kelahiran manusia memiliki empat saudara spiritual), upacara ini merupakan ritual pertama yang dialami oleh bayi sejak ia tercipta sebagai manusia.
Upacara ini dilakukan setelah kehamilan berusia lima bulan menurut kalender Bali, atau sekitar enam bulan kalender Masehi, saat wujud bayi dianggap sudah sempurna.
Tujuan utama dari upacara Magedong-gedongan adalah untuk keselamatan bayi yang ada dalam kandungan ibu.
Upacara ini dilakukan sebagai bentuk permohonan agar bayi dalam kandungan tetap sehat, kuat, dan tidak mengalami keguguran.
Selain itu, secara batiniah, upacara ini dimaksudkan agar bayi yang lahir nanti memiliki budi pekerti yang luhur dan berguna bagi keluarga serta masyarakat.
Upacara Melahirkan (Mendem Ari-ari)
Upacara kelahiran dalam agama Hindu sering disebut dengan “Jolo Karma Samskara.”
Upacara ini melibatkan serangkaian ritual dan persembahan yang dikenal dengan istilah bebantenan, yang disesuaikan dengan fungsinya masing-masing.
Ritual kelahiran bayi ini merupakan bentuk penghormatan kepada nenek moyang serta diharapkan dapat melindungi bayi yang baru lahir dari pengaruh negatif.
Setelah bayi lahir, perawatan ari-ari dianggap sangat penting, bahkan menjadi prioritas sebelum merawat tubuh bayi.
Dalam konteks agama Hindu, ritual ini merupakan bentuk penghormatan dan rasa syukur orang tua atas kelahiran anak mereka.
Ari-ari atau plasenta dianggap sebagai bagian penting dari perkembangan jantung bayi selama berada di dalam rahim ibu.
Upacara Mendem Ari-ari adalah salah satu upacara yang wajib dilakukan oleh keluarga Hindu di Bali.
Ari-ari memiliki makna simbolis yang sangat kuat, terkait dengan konsep “Kanda Pat,” yaitu empat saudara yang membantu proses kelahiran manusia ke dunia.
Keempat saudara ini terdiri dari Ari-ari (plasenta), lamas (lemak), getih (darah), dan yeh nyom (air ketuban).
Upacara Melahirkan (Kepus Pusar/Lepas Pusar)
Upacara Kepus Pusar/Lepas Pusar biasanya dilakukan ketika bayi berumur 3 hari dan memiliki beberapa tahap serta makna yang mendalam bagi keluarga.
1. Ngelepas Aon
“Ngelepas Aon” adalah salah satu tahapan dalam upacara ini yang bermakna melepas puser bayi dengan menggunakan Aon, yaitu abu dapur.
Melepas puser dengan abu dapur dipercaya dapat membantu proses penyembuhan dan pelepasan tali pusar bayi dengan cepat dan aman.
Selain itu, abu dapur yang digunakan melambangkan kesucian dan kebersihan.
2. Upacara Kepus Puser
Upacara Kepus Puser adalah momen ketika tali pusar pada bayi akhirnya lepas. Keluarga akan memanjatkan doa dan harapan agar bayi tumbuh sehat dan kuat.
Doa-doa ini biasanya ditujukan kepada Hyang Kumara, dewa atau roh pelindung anak-anak dalam kepercayaan lokal.
Tali pusar yang lepas dianggap sebagai tanda bahwa bayi telah benar-benar terlepas dari ikatan fisik dengan ibunya dan siap untuk memulai kehidupan mandirinya di dunia.
3. Memohon Perlindungan Hyang Kumara
Bagian penting dari upacara ini adalah permohonan kepada Hyang Kumara agar dapat menjaga dan mengasuh bayi.
Dalam budaya yang melaksanakan upacara ini, Hyang Kumara dianggap sebagai pelindung anak-anak.
Dengan melibatkan Hyang Kumara dalam upacara ini, keluarga berharap bayi mereka akan selalu berada dalam lindungan dan pengasuhan yang baik.
Upacara Melahirkan (Hari ke-12)
Ketika bayi menginjak hari ke-12, dilakukan sebuah upacara tradisional yang dikenal dengan nama Bajang Colong atau Ngerorasin.
Upacara ini bertujuan untuk memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi serta membersihkan badan halus bayi dari kotoran yang dibawa sejak dari rahim ibu.
Upacara Bajang Colong atau Ngerorasin memiliki beberapa tujuan utama:
- Upacara ini membantu memperkuat kedudukan Atman bayi sehingga sang bayi bisa tumbuh dengan kuat dan sehat.
- Bayi diyakini membawa kotoran dari rahim ibu, dan upacara ini membantu membersihkan badan halus bayi dari kotoran tersebut.
- Seluruh rangkaian upacara yang dilakukan sejak kelahiran bayi hingga hari ke-12 bertujuan untuk keselamatan bayi yang baru terpisah dari Catur Sanak dan bajangnya.
Upacara ini melibatkan beberapa sesajen penting yang memiliki makna simbolis:
- Tiga tumpeng. Sesajen utama yang terdiri dari tiga tumpeng dengan lauk katak, belut, dan ayam. Tumpeng-tumpeng ini melambangkan tiga elemen penting dalam kehidupan bayi.
- Jajan tradisional. Selain tumpeng, terdapat jajan-jajan tradisional yang disiapkan sebagai bagian dari sesajen.
- Sesajen untuk ari-ari. Ari-ari (plasenta) bayi juga mendapatkan sesajen berupa nasi sebanyak empat kepalan tangan, yang kemudian dibagikan kepada empat saudara yang dikenal sebagai Catur Sanak.
Bajang dan Catur Sanak memiliki peran penting dalam kehidupan bayi:
- Bajang. Bajang berperan membantu Catur Sanak dalam menjalankan tugas untuk memperlancar kelahiran bayi. Namun, peran bajang sangat terbatas dan selesai ketika bayi berumur 12 hari.
- Catur sanak. Catur Sanak adalah empat saudara spiritual bayi yang bertugas melindungi dan memastikan keselamatan bayi setelah lahir.
Upacara Melahirkan (42 Hari)
Pada dasarnya, upacara ini bertujuan untuk membersihkan bayi dan orang tuanya dari pengaruh negatif yang mungkin mereka alami selama masa kehamilan dan kelahiran.
Ini mencakup aspek fisik, spiritual, dan emosional. Berikut beberapa tahapan melakukan upacara melahirkan 42 hari, yaitu:
1. Persiapan dan Karantina
Sebelum bayi berumur 42 hari, sang ibu dianggap “kotor” dan tidak diperkenankan memasuki tempat-tempat suci.
Hal ini disebabkan karena selama kehamilan, pikiran sang ibu selalu fokus pada bayinya, sehingga tidak dapat memusatkan pikiran pada aktivitas yang memerlukan kesucian batin.
Masa ini disebut sebagai masa “karantina”.
2. Upacara Kambuhan
Setelah 42 hari, diadakan upacara Kambuhan yang bertujuan untuk membersihkan orang tua dan bayi dari pengaruh luar.
Upacara ini dipercaya dapat mengembalikan keseimbangan spiritual dan emosional sang ibu, sehingga dia dapat kembali menjalani kehidupan sehari-hari dengan pikiran yang jernih dan tenang.
3. Sesajen dan Penyucian
Dalam upacara ini, disediakan sesajen khusus untuk sang ibu yang dinamakan Byakawan Prayascita, lengkap dengan air suci panglukatan dan pabersihan.
Bayi juga mendapatkan sesajen yang sesuai dengan kebutuhannya. Sesajen ini berfungsi sebagai simbol penyucian dan perlindungan bagi ibu dan bayi.
4. Pengakhiran Karantina
Setelah ritual penyucian selesai, barulah ibu, bapak, dan anak boleh kembali ke tempat-tempat penting dalam kehidupan sehari-hari seperti Sanggah/Pamerajan (tempat pemujaan keluarga), dapur, dan tempat air (sumur).
Tempat-tempat ini dianggap suci oleh masyarakat Bali dan tidak boleh dimasuki sebelum upacara penyucian selesai.
Upacara Melahirkan (3 Bulan)
Upacara Tigang Sasih atau Nelu Bulanin merupakan tradisi yang dilakukan saat bayi berusia 105 hari setelah kelahiran.
Upacara ini merupakan bagian penting dalam rangkaian upacara bayi yang baru lahir, yang bertujuan untuk menyambut dan memberkati sang bayi.
Diadakan di rumah tangga sendiri, upacara ini memiliki makna mendalam dan penuh simbolisme.
Dalam upacara ini, sesajen dibagi menjadi tiga macam dan diletakkan pada tiga tingkatan yaitu atas, tengah, dan bawah.
Masing-masing tingkatan memiliki tujuan dan makna yang berbeda:
- Tingkat atas: Sesajen ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bentuk syukur dan permohonan berkah.
- Tingkat tengah: Sesajen ditujukan kepada manusia, khususnya sang bayi, untuk memberkati dan melindungi bayi dalam kehidupan barunya.
- Tingkat bawah: Sesajen ditujukan untuk menyisihkan unsur negatif yang dikenal sebagai “empat saudara bayi”, yang dipercaya dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan bayi.
Pada upacara bayi tiga bulanan, terdapat beberapa simbolisme dan makna penting:
- Bayi baru diperbolehkan menginjakkan kakinya di tanah setelah upacara ini. Hal ini melambangkan keterikatan bayi dengan bumi dan lingkungannya.
- Bayi diizinkan menggunakan perhiasan setelah upacara. Untuk bayi laki-laki, gelang kaki dan tangan dipakai, sedangkan bayi perempuan ditindik telinganya. Perhiasan ini diambil dari wadah yang tergenang air, yang melambangkan kemurnian dan berkah dari alam.
Upacara Melahirkan (Bayi Umur Enam Bulan/Otonan)
Di Bali, bayi yang telah mencapai usia enam bulan disebut satu oton atau weton.
Kata “weton” berasal dari kata “wetuan,” yang kemudian menjadi “weton” atau “oton.” Dalam bahasa Bali, kata “wetu” berarti keluar atau lahir.
Upacara otonan atau wetonan adalah sebuah upacara adat yang diperingati setiap 6 bulan sekali menurut kalender Bali/Jawa yang memiliki 210 hari dalam satu siklus.
Upacara ini dirayakan pada hari yang sama dengan kelahiran bayi berdasarkan perhitungan sapta wara (hari dalam minggu Bali), panca wara (hari dalam siklus 5 hari), dan pawukon (siklus 210 hari).
Upacara otonan memiliki makna spiritual berupa bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta atas kelahiran bayi dan sebagai doa agar bayi tumbuh sehat, kuat, dan dilindungi oleh para dewa.
Berikut proses dan ritual dalam upacara Otonan, yaitu:
1. Persiapan
Keluarga mempersiapkan berbagai sarana upacara seperti banten (sesajen), bunga, dan makanan tradisional.
Mereka juga membersihkan rumah dan tempat upacara untuk menciptakan suasana yang suci dan bersih.
2. Pelaksanaan
Upacara biasanya dipimpin oleh seorang pemangku (pendeta adat Bali).
Pemangku akan memanjatkan doa dan mantra, memberikan air suci, dan melakukan ritual pembersihan kepada bayi.
3. Makna Setiap Tahap
Setiap tahap dalam upacara otonan memiliki makna tersendiri.
Misalnya, pemandian bayi dengan air suci melambangkan pembersihan dari segala energi negatif, sementara pemberian banten adalah tanda syukur kepada para dewa.
Upacara Menek Kelih
Upacara Menek Kelih, atau dikenal juga dengan sebutan Munggah Deha Raja Sewala, memiliki tujuan untuk memberikan bimbingan spiritual kepada anak yang sedang beranjak dewasa.
Dalam tradisi Bali, memasuki masa remaja dianggap sebagai fase penting dalam kehidupan seseorang, dimana perubahan fisik dan mental mulai terlihat.
Untuk anak laki-laki, perubahan ini bisa diamati dari perubahan sikap dan suara yang mulai membesar.
Sedangkan untuk anak perempuan, tanda utama adalah datangnya menstruasi pertama. Momen-momen ini dianggap sakral dan membutuhkan upacara khusus untuk menandainya.
Upacara Menek Kelih dilaksanakan ketika anak-anak menunjukkan tanda-tanda fisik kedewasaan.
Menurut Lontar Agastya Parwa, ritual ini sarat dengan nilai-nilai pendidikan.
Orang tua memberikan wejangan atau nasihat kepada anak-anak mereka, dengan harapan agar mereka memiliki masa depan yang lebih baik.
Selain itu, upacara ini juga melibatkan yadnya, yaitu persembahan tulus ikhlas yang diharapkan dapat membuka peluang bagi keluarga untuk masuk surga, yang dalam ajaran Hindu disebut sebagai alam Swah Loka.
Upacara Potong Gigi
Upacara Potong Gigi, atau yang sering disebut mepandes, mesangih, atau metatah dalam bahasa Bali, adalah sebuah ritual keagamaan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu di Bali.
Ritual ini biasanya dilakukan ketika seorang anak telah memasuki masa remaja. Berikut adalah beberapa makna dan tujuan dari upacara ini:
1. Pembentukan Kepribadian Anak
Upacara ini berperan sebagai sarana dalam membentuk kepribadian anak.
Hal ini merupakan lanjutan dari pembentukan karakter yang dimulai sejak anak masih dalam kandungan. Tujuan akhirnya adalah melahirkan anak yang suputra, atau anak yang baik.
2. Netralisasi Sifat-Sifat Negatif
Dalam ajaran Hindu Bali, terdapat keyakinan bahwa sifat-sifat keraksasaan atau sifat-sifat buruk perlu dinetralisir dan dikendalikan.
Melalui Upacara Potong Gigi, diharapkan sifat-sifat buruk ini bisa diubah menjadi sifat-sifat baik.
3. Pengendalian Diri
Salah satu makna mendalam dari upacara ini adalah pergantian perilaku.
Anak-anak yang telah menjalani upacara ini diharapkan bisa menjadi manusia sejati yang mampu mengendalikan diri dari godaan nafsu.
4. Kewajiban Orang Tua
Upacara Potong Gigi juga merupakan bagian dari kewajiban orang tua terhadap anaknya. Orang tua berkewajiban membantu anaknya menemukan hakekat manusia sejati.
5. Pertemuan di Akhirat
Dalam kepercayaan Hindu Bali, upacara ini juga memiliki makna spiritual.
Diyakini bahwa dengan melaksanakan upacara ini, orang tua dan anak dapat bertemu kembali di surga setelah meninggal dunia.
Upacara Pawiwahan
Upacara Pawiwahan dilakukan di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan masyarakat sebagai saksi bahwa kedua mempelai berkomitmen untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Komitmen ini mencakup segala tindakan dan tanggung jawab yang harus dipikul bersama.
Selain sebagai perjanjian suci, upacara ini juga bertujuan untuk membersihkan bibit dari kedua mempelai, baik secara lahir maupun batin.
Pembersihan ini penting agar bibit yang dihasilkan nanti terbebas dari pengaruh negatif atau gangguan Bhuta Kala (roh jahat).
Sehingga, jika terjadi pembuahan, embrio atau “manik” yang terbentuk akan menjadi bersih dan siap dijiwai oleh roh yang baik dan suci.
Dengan pembersihan ini, diharapkan anak yang dilahirkan nanti akan menjadi individu yang berguna bagi masyarakat.
Roh yang baik akan menjiwai embrio yang bersih, sehingga anak yang dilahirkan memiliki potensi besar untuk membawa kebaikan.
Dalam ajaran Hindu, pernikahan atau Wiwaha dianggap sebagai Yadnya (pengorbanan suci) dan perbuatan Dharma (tindakan yang benar).
Pawiwahan menandai awal dari tahapan Grahasta Asrama, yaitu fase kehidupan berumah tangga.
Menurut Lontar Agastya Parwa, tugas utama dalam sebuah pernikahan adalah mewujudkan kehidupan yang disebut Yatha Sakti Kayika Dharma, yang berarti melaksanakan Dharma sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Artinya, pasangan suami istri harus berusaha menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh tanggung jawab berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran.
Pernikahan dalam pandangan Hindu juga dianggap sebagai kewajiban suci karena diharapkan akan melahirkan anak suputra, yaitu anak yang baik dan berbakti.
Anak suputra adalah harapan setiap orang tua karena mereka akan meneruskan nilai-nilai kebajikan dan menjaga keharmonisan dalam keluarga serta masyarakat.
Peran Wanita Bali dalam Mendidik Anak
Sebagai kunci utama keluarga, peran wanita dalam keluarga sangatlah krusial, terkhususnya dalam masyarakat Bali.
Di budaya Bali dalam kesehatan ibu dan anak, peran wanita Bali dalam mendidik anak sudah baik dan memiliki peran yang sangat penting.
Pendekatan yang digunakan wanita Bali dalam mendidik anak meliputi beberapa metode berikut:
1. Pendekatan Kesadaran
Dalam konteks ini, anak-anak diarahkan untuk memahami dan mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat dan ajaran agama.
Ini berarti bahwa anak tidak hanya diajarkan bagaimana berperilaku baik di rumah, tetapi juga bagaimana berinteraksi dengan orang lain di sekolah dan dalam masyarakat secara umum.
Misalnya, mereka diajarkan untuk menghormati orang tua, berbagi dengan teman-teman, dan mengikuti aturan-aturan sosial yang ada.
2. Pendekatan Etika
Dalam pendekatan ini, etika sopan santun menjadi landasan dalam pendidikan.
Anak-anak belajar tentang perilaku yang benar dan sopan dalam berbagai konteks, baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Pendidikan budi pekerti ini melibatkan ajaran tentang bagaimana berperilaku dengan hormat, jujur, dan bertanggung jawab.
3. Pendekatan Sosial Keagamaan
Pendekatan ini berfokus pada peningkatan perilaku anak melalui kegiatan keagamaan. Anak-anak terlibat dalam berbagai ritual dan kegiatan keagamaan yang mengajarkan nilai-nilai moral dan spiritual.
Misalnya, mereka mungkin ikut dalam upacara-upacara keagamaan yang mengajarkan tentang nilai kebersihan, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap alam dan sesama.
4. Pendekatan Keteladanan
Keteladanan berarti bahwa orang tua, terutama ibu, menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka.
Sikap dan perilaku positif yang ditunjukkan oleh orang tua diharapkan dapat ditiru oleh anak.
Dalam hal ini, ibu-ibu Bali menunjukkan sikap yang penuh kasih sayang, disiplin, dan tanggung jawab sebagai contoh yang bisa diikuti oleh anak-anak mereka.
A Word From Navila
Tradisi budaya Bali dalam kesehatan ibu dan anak menggambarkan kearifan lokal yang mendalam dan kaya makna.
Setiap upacara adat menunjukkan perhatian mendalam terhadap kesehatan fisik dan spiritual ibu dan anak.Â
Melalui ritual-ritual ini, masyarakat Bali tidak hanya merayakan kelahiran dan perkembangan bayi tetapi juga berusaha memelihara kesejahteraan spiritual serta moral anak, menjadikannya sebagai bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya mereka. Cari tahu juga Bunda terkait mitos-mitos tentang kesehatan ibu dan anak.
Bunda mau informasi terlengkap tentang moms and baby lainnya? Yuk, kunjungi akun media sosial Navila di Instagram @navilababy dan TikTok @navilacare. Sehat selalu Bunda!