Menangis bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk komunikasi alami, terutama bagi anak-anak yang belum mampu mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata. Meski terdengar biasa, tangisan anak menyimpan makna yang lebih dalam, bisa jadi mereka merasa kesepian, frustasi, atau sekadar ingin dipeluk. Sayangnya, masih banyak orang tua yang buru-buru menghakimi tanpa mencoba memahami alasan di balik air mata si kecil. 

Kondisi ini lebih sering dialami oleh anak laki-laki, yang sejak dini sudah dibebani anggapan “laki-laki tidak boleh menangis.” Padahal, menekan emosi justru bisa berdampak buruk bagi perkembangan mental mereka. Tak jarang, kata-kata orang tua saat anak menangis bisa melukai hati tanpa disadari. Oleh karena itu, penting bagi Mams untuk memilih ucapan dengan bijak. Yuk, cari tahu kata-kata apa saja yang sebaiknya tidak diucapkan saat anak laki-laki menangis!

Mengapa Laki-laki Dituntut Tidak Boleh Menangis? Apakah Laki-laki Bukan Manusia?

Mengapa Laki-laki Dituntut Tidak Boleh Menangis? Apakah Laki-laki Bukan Manusia?

Sejak lama, laki-laki sering dituntut untuk tidak menangis. Budaya patriarki membentuk citra bahwa laki-laki sejati harus selalu kuat dan tidak boleh menunjukkan kelemahan. Menangis dianggap tidak cocok untuk laki-laki, karena sering dikaitkan dengan sifat lemah dan emosional. Padahal, itu hanyalah stereotip yang tidak adil dan keliru.

Laki-laki Juga Punya Hati dan Perasaan

Seperti perempuan, laki-laki juga manusia yang punya emosi. Menangis adalah cara alami tubuh mengekspresikan perasaan—baik sedih, kecewa, bahkan bahagia. Namun tekanan sosial membuat banyak laki-laki memendam perasaan mereka. Akibatnya, muncul risiko stres, depresi, hingga gangguan mental karena tidak punya ruang aman untuk jujur terhadap diri sendiri.

Seimbangkan Maskulin dan Feminin dalam Diri

Carl Jung menyebut bahwa setiap manusia punya sisi maskulin dan feminin. Sayangnya, sejak kecil banyak anak didorong hanya menampilkan salah satunya. Padahal, keseimbangan inilah yang justru membuat seseorang menjadi pribadi yang utuh. Laki-laki juga berhak menangis, berhak merasa lemah, dan tetap dihargai sebagai manusia seutuhnya.

Hindari Kata Ini saat Anak Laki-laki Menangis

Agar tidak semakin menyakiti perasaannya, hindari kata ini saat anak laki-laki menangis ya Mams.

1. Jangan Remehkan

Meremehkan perasaan anak laki-laki ketika dirinya menangis dapat membuatnya merasa tidak dihargai dan tidak dipahami. Menurut penelitian dari Centers for Disease Control and Prevention (APA), meremehkan emosi anak dapat menyebabkan sang anak menekan perasaan tersebut, yang pada gilirannya dapat menyebabkan masalah emosional dan psikologis di kemudian hari.

Sebagai contoh, jika seorang anak menangis karena mainannya rusak, hindari mengatakan, “Itu cuma mainan, gak usah cengeng.” Sebaliknya, cobalah untuk menunjukkan empati dengan mengatakan, Ibu tahu kamu sedih karena mainanmu rusak, ayo kita cari cara untuk memperbaikinya.”

2. Jangan Bandingkan

Membandingkan anak laki-laki dengan saudara atau teman lainnya saat mereka menangis bisa merusak harga diri mereka. Menurut AI Care, membandingkan anak dengan orang lain dapat menyebabkan mereka merasa tidak cukup baik dan berujung pada rendahnya rasa percaya diri.

Hindari mengatakan, “Ngapain pake nangis? Lihat abangmu, kalau jatuh gak pernah menangis.” Sebaliknya, fokuslah pada dia dan bantu atasi emosinya dengan mengatakan, “Apa yang membuatmu sedih, nak? Ayo, sama Ibu, kita cari solusi bersama.”

3. Jangan Paksa Berhenti

Memaksa anak laki-laki berhenti menangis dapat mengajarkan padanya untuk menekan emosi lebih dalam. Ini berpotensi menyebabkan masalah kesehatan mental. Anak-anak yang ditekan untuk menahan emosi lebih mungkin mengalami kecemasan dan depresi di masa dewasa.

Jadi, alih-alih mengatakan, “Berhenti nangis GAK!,” cobalah mengatakan, “Nak, kenapa kamu menangis? Gak apa kalau mau menangis, sini sama Ibu cerita ada apa?”

4. Jangan Mengolok-olok

Mengolok-olok atau mengejek anak laki-laki yang menangis bisa membuat dirinya merasa malu dan menganggap bahwa mengekspresikan emosi adalah sesuatu yang salah dan aib. Penelitian dari National Institute of Mental Health menunjukkan bahwa ejekan yang berulang kali dapat menyebabkan gangguan harga diri dan rasa tidak aman pada anak-anak.

Sebagai contoh, misal putra Mams terjatuh saat bermain. Daripada mengatakan, “Udah gedhe kok masih nangis macam bayi” lebih baik katakan, “It’s ok, sayang. Nanti Ibu obati lukanya, ya.”

5. Jangan Abaikan

Mengabaikan tangisan anak laki-laki dapat mengirim pesan bahwa emosi mereka tidak penting. Anak-anak yang sering diabaikan saat mereka menangis cenderung mengalami kesulitan dalam mengelola emosinya dan merasa tidak dihargai.

Jika anak menangis, jangan diamkan saja atau berpura-pura tidak melihat. Sebaliknya, dekati dia dan katakan, “Ibu perhatikan kamu terlihat sedih. Ada apa nak? Sini, cerita sama Ibu.”

6. Jangan Beri Label

Memberikan label seperti “lemah” atau “cengeng” saat anak laki-laki menangis dapat merusak citra dirinya. Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP), labeling dapat berdampak buruk pada perkembangan identitas anak dan menghalanginya mengekspresikan emosi secara sehat.

Hindari mengatakan, “Cengeng banget sih jadi cowok.” Sebaliknya, akui perasaannya dengan mengatakan, “Ibu tahu ini sulit, itu tidak masalah, nak. Gak apa sedih, semua orang wajar kok sedih. Yang penting jangan berlarut-larut, kita cari solusi bersama, ya.”

7. Jangan Mengancam

Mengancam anak laki-laki agar berhenti menangis dapat menciptakan rasa takut dan tidak aman. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), ancaman verbal dapat menyebabkan trauma emosional dan mengganggu perkembangan sosial serta emosional anak.

Misal, anak tidak mau pergi dari tempat bermain dan menangis, daripada mengatakan, “Kalau gak berhenti nangis, Ibu tinggal kamu di sini!” lebih baik katakan, “Iya, gak apa kok kamu sedih, nak. Kan besok ke sini lagi. Yuk, sama Ibu kita pulang dulu.”

8. Jangan Menghakimi

Menghakimi anak laki-laki karena menangis dapat membuat mereka merasa bersalah atau malu atas perasaannya. Menghakimi perasaan anak dapat menghambatnya dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan kemampuan untuk mengatasi stres.

Alih-alih mengatakan, “Ginian doang nangis, mau jadi apa kamu?!” lebih baik katakan, “Kok kamu nangis? Ada apa? Sini cerita sama Ibu.”

Ungkapan-ungkapan Toxic yang Tidak Boleh Mams Katakan saat Berbicara pada Anak Laki-laki

Bukannya memperbaiki, ungkapan-ungkapan ini malah akan merusak mental anak. Berikut ungkapan-ungkapan toxic yang sebaiknya tidak Mams katakan saat berbicara kepada anak laki-laki.

“Cowok kok Sensi Amat”

Kalimat ini bisa membuat anak laki-laki merasa tidak boleh menunjukkan emosinya. Lama-lama, dia akan belajar menahan semua perasaannya sendiri. Hal ini bisa menyebabkan tekanan batin dan gangguan kesehatan mental.

Anak jadi enggan terbuka dan takut dianggap lemah. Ini juga memperkuat stigma bahwa laki-laki harus selalu kuat. Padahal, anak laki-laki juga perlu ruang untuk mengekspresikan diri. Lebih baik beri dukungan agar ia merasa aman berbicara soal perasaannya.

“Laki-laki kok Cengeng, Harus Kuat!”

Menangis adalah hal wajar dan bukan tanda kelemahan. Jika Mams melarangnya menangis, artinya Mams melarang ia jujur dengan emosinya. Akibatnya, anak bisa tumbuh jadi pribadi yang kaku dan tertutup.

Lama-lama, tekanan emosional ini bisa memengaruhi hubungan anak saat dewasa. Ia bisa kesulitan membangun empati terhadap pasangan dan anak-anaknya nanti. Gantilah ucapan ini dengan kalimat yang lebih suportif dan netral terhadap gender.

“Gak Usah Nangis… Cowok kok Cengeng Macam Cewek”

Masyarakat sering melabeli tangisan sebagai kelemahan, terutama pada laki-laki. Hal ini membuat anak laki-laki merasa malu saat ingin menangis. Emosinya pun jadi lebih sering berubah jadi marah karena tidak punya saluran yang sehat.

Membandingkan dengan perempuan hanya memperkuat stereotip. Padahal setiap anak punya perasaan yang unik. Ajarkan bahwa menangis itu boleh, asalkan setelah itu belajar menyelesaikan masalahnya. Peran Ayah juga penting sebagai contoh nyata.

“Cowok kok Mainannya Gituan”

Selain dari perkataan, perilaku pun pun terkadang orang tua atur untuk anak-anak, salah satunya adalah bermain. Laki-laki cenderung hanya diperbolehkan melakukan permainan yang kasar, seperti sepak bola, dan permainan olah raga.

Padahal, fisik setiap anak itu berbeda-beda, alangkah baiknya jika membiarkan dia bermain sesuai kesukaannya tanpa adanya paksaan. Perilaku seperti ini hanya akan menghentikan seorang anak laki-laki bereksplorasi minat mereka, dan dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kemampuan mereka sebagai orang tua.

“Itu loh… Tiru Abangmu!”

Membandingkan anak dengan saudaranya bisa melukai harga dirinya. Ia akan merasa tidak cukup baik dan kehilangan rasa percaya diri. Ini bisa membuat anak tumbuh dengan perasaan selalu gagal.

Setiap anak punya keunikan sendiri. Fokuslah pada kekuatan dan potensi masing-masing anak. Ucapan yang membandingkan hanya akan menjauhkan anak dari orang tuanya. Alih-alih membandingkan, beri pujian saat anak melakukan hal baik dengan versinya sendiri.

A Word From Navila

Kesimpulannya, ungkapan seperti “Laki-laki gak boleh nangis” adalah salah satu contoh dari toxic masculinity yang harus dihindari oleh orang tua. Pandangan ini mengajarkan anak laki-laki bahwa menunjukkan emosi, terutama melalui tangisan, adalah sesuatu yang salah atau memalukan.

Padahal, mengekspresikan emosi adalah bagian penting dari perkembangan emosional yang sehat. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mendukung anak laki-laki dalam mengekspresikan emosinya secara sehat dan terbuka, termasuk ketika mereka merasa perlu menangis. 

Ini sangat mempengaruhi mentalitasnya, karena kesehatan mental anak bergantung pada parenting orang tua. Jika emosi terus menerus dipendam, hal terburuk yang terjadi adalah dia akan menjadi pribadi yang tidak berempati.

Berikut adalah tayangan seputar “Boys Don’t Cry” dan dampaknya di masa depan anak.


References

  • AI Care. Understanding the Negative Effects of Comparing Children. Retrieved from https://ai-care.id/mom-and-kids/understanding-the-negative-effects-of-comparing-children-en
  • CDC. About Children’s Mental Health. Retrieved from ttps://www.cdc.gov/children-mental-health/about/index.html
  • Rivara, F., & Le Menestrel, S. (2014). Committee on the Biological and Psychosocial Effects of Peer Victimization: Lessons for Bullying Prevention. National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine. Washington (DC). https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK390414/
  • Forkey, H., Szilagyi, M., Kelly, E. T., & Duffee, J. (2021). Trauma-informed care. Pediatrics148(2). https://publications.aap.org/pediatrics/article/148/2/e2021052580/179745/Trauma-Informed-Care
  • CDC. About Adverse Childhood Experiences. Retrieved from https://www.cdc.gov/aces/about/index.html