Fenomena “fatherless country” telah menjadi perbincangan hangat dalam beberapa tahun terakhir, dan banyak yang mempertanyakan apakah Indonesia termasuk negara yang mengalami fenomena ini. Istilah fatherless merujuk pada kondisi di mana ayah kurang atau bahkan tidak terlibat dalam pengasuhan anak, meskipun secara fisik ada. 

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pihak yang menyebut Indonesia sebagai “fatherless country”, mengingat rendahnya tingkat keterlibatan Ayah dalam kehidupan anak-anak. Tapi, apakah klaim tersebut benar? Mari cari tahu selengkapnya pada artikel Navila berikut ini!

Apakah Klaim Indonesia Fatherless Country Benar?

Beberapa waktu lalu, muncul klaim bahwa Indonesia adalah negara dengan angka “fatherless” tertinggi ketiga di dunia. Klaim ini pertama kali muncul dalam sebuah artikel CNN dan sudah beredar sejak 2012. Diskusi di Twitter dan acara Kick Andy di Metro TV pada 2011 juga menyoroti isu ini.

Isu tersebut kembali ramai dibicarakan pada Mei 2023 setelah beberapa media membahasnya. Media merujuk pada program mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) pada 2021 yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya peran Ayah dalam pengasuhan anak. Program tersebut menyebut Indonesia sebagai negara dengan anak yang kekurangan figur ayah terbanyak ketiga di dunia berdasarkan data 2021.

Namun, apakah klaim ini benar? Mengutip dari Kumparan, setelah melakukan riset mendalam, tidak ditemukan bukti ilmiah yang mendukung bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara “fatherless“. Baik data maupun riset internasional, seperti yang dapat ditemukan di Google Scholar, tidak mendukung klaim tersebut.

Meski begitu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa peran Ayah di Indonesia sering terbatas pada penyedia nafkah, sementara ibu lebih banyak terlibat dalam pengasuhan. Laporan Rutgers Indonesia menyebutkan bahwa Ayah di Indonesia kurang terlibat dalam pengasuhan anak, yang berpotensi menyebabkan anak merasa kurang dekat dengan orang tua.

Meskipun klaim Indonesia sebagai negara “fatherless” sering dibicarakan, tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya. Namun, kenyataannya keterlibatan Ayah dalam pengasuhan memang masih rendah, dan ini perlu menjadi perhatian demi masa depan generasi mendatang.

Dampak dari Fatherless

Anak-anak yang tumbuh tanpa figur Ayah bisa mengalami beberapa masalah psikologis dan emosional, seperti:

  • Depresi
  • Kecemasan
  • Masalah kesehatan mental lainnya
  • Perilaku antisosial atau kriminal
  • Prestasi akademik yang lebih rendah
  • Kesulitan dalam membentuk hubungan interpersonal yang sehat

Solusi Atasi Fatherless

Ada beberapa cara yang bisa membantu mengatasi tantangan yang dialami anak-anak tanpa sosok Ayah:

1. Terapi dan Konseling 

Dukungan dari psikolog profesional bisa membantu anak-anak untuk memahami dan mengelola emosi mereka dengan cara yang sehat. Terapi keluarga juga bisa sangat bermanfaat untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam keluarga, termasuk yang berhubungan dengan ketidakhadiran figur Ayah.

2. Program di Sekolah 

Banyak sekolah kini menyediakan program khusus bagi anak-anak dari keluarga orang tua tunggal, seperti bantuan dalam akademik dan layanan konseling. Program ini dirancang untuk membantu anak-anak menghadapi masalah yang mereka hadapi, baik di rumah maupun di sekolah.

3. Program Mentoring 

Program mentoring yang menghubungkan anak-anak dengan mentor dewasa bisa memberi mereka sosok panutan yang positif. Ini membantu menutupi kekosongan yang ditinggalkan oleh Ayah yang tidak hadir dan memberi mereka kesempatan untuk belajar dari pengalaman orang dewasa yang peduli.

4. Membangun Ketangguhan (Resilience) 

Mengajarkan anak-anak cara untuk bangkit dari kesulitan dengan ketangguhan bisa membantu mereka menghadapi berbagai tantangan hidup dengan lebih baik. Ketangguhan ini membuat mereka tetap tegar meski menghadapi hambatan.

5. Mengembangkan Kecerdasan Emosional 

Membantu anak-anak untuk lebih memahami dan mengelola perasaan mereka akan membantu mereka lebih bijaksana dalam mengatur emosi dan menjalin hubungan yang lebih sehat dengan orang lain. Ini juga membantu mereka menghadapi perasaan cemas atau frustrasi dengan cara yang lebih positif.

6. Mencari Hubungan yang Sehat 

Mendorong anak-anak untuk menjalin hubungan yang positif dengan teman sebaya dan orang dewasa yang mereka percayai bisa memberi dukungan emosional yang mereka butuhkan. Ini juga memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan memperluas jaringan yang mendukung perkembangan mereka.

A Word From Navila

Kesimpulannya, klaim bahwa Indonesia adalah negara fatherless nomor tiga di dunia adalah hoax atau tidak memiliki bukti ilmiah yang valid. Meskipun demikian, penting untuk memahami isu fatherless, karena ini bukan hanya masalah kesejahteraan individu, tetapi juga langkah krusial dalam membangun komunitas yang lebih kuat dan stabil. 

Ke depan, kita harus terus melakukan penelitian, mengembangkan sistem dukungan, dan meningkatkan kesadaran akan isu ini. Dengan demikian, kita dapat berupaya menciptakan masa depan di mana setiap anak, terlepas dari struktur keluarga mereka, memiliki kesempatan untuk tumbuh dan mencapai potensi terbaik.


References

  • Kumparan. Ternyata Tidak Ada Riset yang Bilang RI Jadi Negara Fatherless Ketiga di Dunia. Retrieved from https://kumparan.com/kumparannews/ternyata-tidak-ada-riset-yang-bilang-ri-jadi-negara-fatherless-ketiga-di-dunia-20k2Dwbfg0Z
  • Fathers. Consequences of Fatherlessess. Retrieved from https://fathers.com/the-consequences-of-fatherlessness/
  • Osita Ibekwe. Understanding Fatherless Child Syndrome: Impacts and Solutions. Retrieved from https://ositaibekwe.com/understanding-fatherless-child-syndrome/