Mams, pernah dengar anggapan bahwa orang yang mengalami gangguan mental itu lemah, kurang iman, atau sekadar cari perhatian? Sayangnya, mitos seperti ini masih saja beredar dan bahkan diwariskan turun-temurun. Padahal, pemahaman yang keliru justru bisa membuat penderita merasa sendirian, malu, atau ragu untuk mencari bantuan yang mereka butuhkan.

Ketika seseorang menghadapi gangguan mental, sering kali yang mereka butuhkan adalah dukungan, bukan penghakiman. Namun, karena masih banyak mitos yang dipercaya, mereka justru merasa terisolasi. Dalam artikel ini, Mams akan diajak membongkar sederet mitos yang kerap dianggap benar seputar kesehatan mental, sekaligus mempelajari fakta medisnya. Semoga dari sini, Mams bisa lebih peka, empatik, dan siap menjadi bagian dari lingkungan yang suportif dan bebas stigma.

14 Mitos Kesehatan Mental yang Sering Dipercaya & Faktanya

Mams, agar tidak lagi terjebak dalam pandangan yang keliru, penting bagi kita untuk mengenali mana yang mitos dan mana yang fakta seputar kesehatan mental. Yuk, simak 14 mitos yang sering dipercaya berikut ini beserta penjelasan ilmiahnya!

1. Gangguan Mental Tanda Kurang Cerdas

Fakta: Gangguan mental bisa dialami siapa saja, termasuk mereka yang sangat cerdas.

Banyak orang masih menganggap bahwa gangguan mental terjadi karena seseorang kurang cerdas atau tidak mampu mengontrol pikirannya. Padahal, gangguan ini bukan masalah kecerdasan, melainkan gangguan pada fungsi emosi, perilaku, atau kejiwaan yang bisa dipicu berbagai faktor seperti stres, trauma, atau genetik.

Menurut American Psychiatric Association, gangguan mental bisa dialami siapa saja tanpa memandang IQ. Banyak tokoh cerdas dunia seperti Abraham Lincoln dan Isaac Newton diketahui memiliki gejala depresi. Artinya, kecerdasan tidak membuat seseorang kebal terhadap gangguan mental.

2. Hanya Orang Dewasa yang Bisa Depresi

Fakta: Anak dan remaja juga rentan mengalami depresi dan kecemasan.

Depresi tidak hanya terjadi pada orang dewasa. Remaja dan bahkan anak-anak pun bisa mengalaminya. Sayangnya, gejala depresi pada usia muda sering disalahpahami sebagai “hormon remaja” atau sekadar “sifat manja”.

Data WHO menunjukkan bahwa 1 dari 7 remaja di dunia mengalami gangguan mental. Depresi bahkan menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi akibat bunuh diri di usia 15–19 tahun. Ini membuktikan bahwa perhatian terhadap kesehatan mental remaja sangat penting.

3. Orang Kuat Tidak Akan Mengalami Gangguan Mental

Fakta: Gangguan mental tidak ada hubungannya dengan kekuatan atau kelemahan pribadi.

Mengalami gangguan mental bukan berarti seseorang lemah atau kurang kuat secara mental. Justru, banyak orang yang tampak kuat di luar, sedang berjuang keras di dalam dirinya. Mental illness bisa menyerang siapa saja, bahkan orang yang tampak “tegar”.

American Psychological Association menyebut bahwa mencari bantuan untuk kesehatan mental adalah tanda keberanian. Mengakui bahwa diri sedang tidak baik-baik saja, lalu mencari solusi, adalah bentuk kekuatan, bukan kelemahan.

4. Gangguan Mental Tidak Bisa Disembuhkan

Fakta: Banyak kondisi mental dapat dikelola dan disembuhkan dengan terapi yang tepat.

Anggapan bahwa gangguan mental adalah kondisi permanen membuat banyak orang enggan mencari bantuan. Padahal, dengan penanganan dini dan tepat, banyak gangguan mental bisa membaik atau bahkan pulih sepenuhnya.

Terapi psikologis, obat-obatan, serta dukungan sosial telah terbukti efektif membantu pemulihan. Badan Kesehatan Mental Amerika Serikat (SAMHSA) menegaskan bahwa pemulihan itu nyata. Artinya, meski mungkin tidak instan, kesembuhan sangat mungkin dicapai.

5. Hanya Tipe Orang Tertentu yang Rentan

Fakta: Gangguan mental bisa dialami siapa saja, tanpa memandang latar belakang.

Banyak yang berpikir hanya orang yang “rapuh”, “kurang iman”, atau punya masalah keluarga saja yang bisa mengalami gangguan mental. Faktanya, gangguan ini tidak memandang usia, status sosial, pendidikan, atau latar belakang agama.

Menurut WHO, sekitar 1 dari 8 orang di dunia mengalami gangguan mental. Artinya, siapa pun bisa terdampak, bahkan orang dengan kehidupan yang terlihat sempurna. Stres kerja, kehilangan, atau tekanan hidup bisa menjadi pemicunya.

6. Cuma Orang ‘Gila’ yang Perlu Psikolog

Fakta: Konsultasi ke psikolog penting untuk semua orang, bukan hanya untuk kondisi berat.

Istilah “gila” sangat menstigma dan menyakitkan. Padahal, banyak orang yang berkonsultasi ke psikolog hanya karena ingin lebih mengenal diri, mengelola stres, atau memperbaiki pola pikir. Ini adalah bagian dari menjaga kesehatan mental, sama seperti pergi ke dokter umum saat flu.

Psikolog dan psikiater adalah tenaga profesional yang dapat membantu mengurai masalah pikiran dan emosi. Jadi, mencari bantuan mereka bukan hal memalukan, justru tanda seseorang peduli pada diri sendiri.

7. Orang dengan Gangguan Mental Berbahaya

Fakta: Kebanyakan penderita gangguan mental tidak berbahaya bagi orang lain.

Media sering menggambarkan orang dengan gangguan mental sebagai sosok yang agresif atau aneh. Padahal, studi dari American Psychological Association menyebutkan bahwa mereka justru lebih sering menjadi korban kekerasan dibanding pelaku.

Stigma ini berbahaya karena membuat penderita takut terbuka dan enggan mencari bantuan. Masyarakat perlu memahami bahwa gangguan mental tidak sama dengan tindakan kriminal atau kekerasan.

8. Gangguan Mental = Disabilitas Intelektual

Fakta: Keduanya adalah kondisi berbeda dengan penyebab dan penanganan yang berbeda pula.

Disabilitas intelektual adalah keterbatasan fungsi kognitif sejak masa kanak-kanak. Sedangkan gangguan mental berkaitan dengan suasana hati, perilaku, dan fungsi psikologis yang bisa terjadi kapan saja dalam hidup seseorang.

Orang dengan gangguan mental bisa memiliki tingkat kecerdasan normal atau tinggi. Mereka tetap bisa bekerja, belajar, dan bersosialisasi dengan baik, terutama jika mendapatkan penanganan yang sesuai.

9. Semua Gangguan Mental Disebabkan Genetik

Fakta: Faktor penyebab gangguan mental sangat kompleks dan tidak hanya genetik.

Meskipun faktor genetik bisa meningkatkan risiko, gangguan mental sering kali dipicu oleh banyak hal. Lingkungan, pengalaman hidup, pola asuh, stres, dan trauma memiliki peran besar dalam munculnya gangguan.

Misalnya, seseorang bisa memiliki gen pembawa risiko, tetapi tidak mengalami gangguan mental jika hidup di lingkungan yang suportif. Sebaliknya, tanpa faktor genetik pun, seseorang bisa mengalami gangguan akibat tekanan ekstrem.

10. Mencari Bantuan Berarti Lemah

Fakta: Mengakui butuh bantuan dan mencarinya adalah bentuk keberanian dan tanggung jawab.

Banyak orang takut dinilai lemah jika pergi ke psikolog atau psikiater. Padahal, butuh keberanian besar untuk mengakui diri sedang kesulitan dan ingin berubah menjadi lebih baik.

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Sama seperti tidak ada yang malu pergi ke dokter saat demam, seharusnya juga tidak ada yang malu untuk terapi ketika merasa kewalahan secara emosional.

11. Gangguan Mental Bisa Sembuh Sendiri

Fakta: Sebagian mungkin bisa membaik sendiri, tapi banyak yang memerlukan bantuan profesional.

Ada orang yang bisa merasa lebih baik setelah istirahat atau curhat. Tapi gangguan mental yang serius seperti depresi berat, gangguan bipolar, atau PTSD tidak cukup hanya “disemangati” atau “dikuat-kuatin”.

Tanpa penanganan yang tepat, gejala bisa memburuk dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Terapi dan pengobatan bisa membantu mempercepat pemulihan dan mencegah kekambuhan.

12. Harus Dirawat di RS Jiwa

Fakta: Mayoritas orang dengan gangguan mental dapat dirawat jalan tanpa harus opname.

Tidak semua gangguan mental membutuhkan rawat inap. Sebagian besar bisa ditangani dengan terapi mingguan atau bulanan di luar rumah sakit. Rawat inap biasanya dilakukan jika kondisi pasien membahayakan dirinya atau orang lain.

Seiring perkembangan ilmu, layanan kesehatan mental makin terbuka dan inklusif. Kini banyak klinik atau platform online yang menawarkan layanan profesional tanpa stigma dan bisa diakses dari rumah.

13. Orang Produktif Tidak Mungkin Depresi

Fakta: Depresi tidak memilih siapa. Bahkan orang sukses bisa mengalaminya.

Banyak orang terkenal dan sukses yang secara terbuka mengakui perjuangannya melawan depresi. Mereka tampak bahagia di luar, tetapi menyimpan tekanan hebat di dalam diri. Ini dikenal sebagai high-functioning depression.

Produktivitas sering menjadi “topeng” yang menutupi gejala gangguan mental. Maka penting untuk tidak mengukur kesehatan mental seseorang hanya dari penampilannya atau pencapaiannya.

14. Remaja Berprestasi Tidak Mungkin Stres

Fakta: Tekanan berprestasi justru bisa memicu stres dan gangguan mental pada remaja.

Remaja yang cemerlang di sekolah bisa mengalami kecemasan atau depresi karena tekanan akademik atau ekspektasi orang tua. Prestasi tinggi tidak menjamin kondisi mental yang sehat.

UNICEF mencatat bahwa remaja saat ini menghadapi tantangan besar, dari tekanan sosial, cyberbullying, hingga isolasi sosial. Maka penting bagi orang tua untuk lebih peduli pada kondisi emosional, bukan hanya nilai rapor anak.

Bagaimana Cara Menghapus Stigma dan Meningkatkan Literasi Kesehatan Mental?

Langkah pertama yang bisa Mams lakukan adalah membuka diri terhadap edukasi yang tepat. Pahami bahwa gangguan mental bukan disebabkan oleh “kurang iman” atau “terlalu sensitif”, melainkan kondisi medis yang kompleks. Akses informasi dari sumber terpercaya seperti WHO, Kemenkes, atau psikolog profesional untuk mendapatkan perspektif yang akurat.

Selain itu, cara Mams merespons cerita atau curhatan orang lain juga berpengaruh besar. Hindari kalimat seperti “kamu lebay” atau “kamu terlalu drama”, dan gantikan dengan kalimat yang memvalidasi perasaan, seperti “aku paham ini berat buatmu”. Kata-kata yang penuh empati akan membantu orang merasa lebih diterima dan berani untuk membuka diri.

Tak kalah penting, Mams bisa mulai mengenalkan literasi emosional sejak dini pada anak. Ajarkan mereka untuk mengenal dan mengekspresikan perasaan, serta memahami bahwa meminta bantuan adalah hal yang wajar. Lingkungan rumah yang terbuka dan suportif akan melahirkan anak-anak yang tangguh secara mental dan emosional.

Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional?

Wajar jika sesekali merasa sedih atau lelah. Tapi jika perasaan itu bertahan lebih dari dua minggu, hingga mengganggu aktivitas sehari-hari, Mams perlu mulai waspada. Perubahan mood yang ekstrem, sulit tidur, menarik diri dari orang lain, atau kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu menyenangkan adalah beberapa gejala yang patut diperhatikan.

Menurut National Institute of Mental Health, gejala lain seperti pikiran menyakiti diri, gangguan konsentrasi, atau kelelahan tanpa sebab juga menjadi sinyal untuk segera mencari bantuan profesional. Jangan anggap enteng sinyal dari tubuh dan pikiran. Penanganan sejak dini akan jauh lebih efektif daripada menunggu kondisi memburuk.

Mams, ingat bahwa berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater bukan berarti Mams lemah. Justru itu menunjukkan bahwa Mams peduli dan ingin pulih. Psikolog memiliki pendekatan yang berbasis ilmu untuk membantu mengurai masalah dan memberi strategi pemulihan yang tepat. Jangan ragu untuk ambil langkah awal, karena pemulihan dimulai dari keberanian untuk bertanya dan bicara.

A Word From Navila

Mams, setelah mengenal berbagai mitos dan fakta seputar kesehatan mental, semoga kita bisa lebih bijak memandang isu ini. Gangguan mental bukan sekadar “drama” atau “kurang iman”, melainkan kondisi medis yang bisa dialami siapa saja. Sayangnya, masih banyak yang memilih diam karena takut dihakimi. Di sinilah peran Mams jadi sangat penting.

Mari mulai dari hal kecil: mendengarkan tanpa menghakimi, membuka ruang bicara yang aman, dan menjadikan rumah sebagai tempat yang sehat secara emosional. Kesehatan mental bukan sesuatu yang tabu, justru harus dibicarakan sejak dini. Dari Mams yang memahami dan mau belajar, akan lahir keluarga yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih bahagia. Yuk, kita patahkan mitos, dan jadi bagian dari perubahan.


References

  • CDC. Mental Health Stigma. Retrieved from from https://www.cdc.gov/mental-health/stigma/index.html
  • Brains Way. Mental Health Stigmas. Retrieved from https://www.brainsway.com/knowledge-center/mental-health-stigmas/
  • WHO. Mental health. Retrieved from https://www.who.int/health-topics/mental-health
  • WHO. The overwhelming case for ending stigma and discrimination in mental health. Retrieved from https://www.who.int/europe/news/item/26-06-2024-the-overwhelming-case-for-ending-stigma-and-discrimination-in-mental-health
  • WHO. Mental health of adolescents. Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-mental-health
  • Keyes, K. M., Kreski, N. T., & Patrick, M. E. (2024). Depressive symptoms in adolescence and young adulthood. JAMA network open, 7(8), e2427748-e2427748. https://jamanetwork.com/journals/jamanetworkopen/article-abstract/2822217
  • CDC. Depression Prevalence in Adolescents and Adults: United States, August 2021–August 2023. Retrieved from https://www.cdc.gov/nchs/products/databriefs/db527.htm
  • National Institute of Mental Health. My Mental Health: Do I Need Help? Retrieved from https://www.nimh.nih.gov/health/publications/my-mental-health-do-i-need-help