Saat hamil, tubuh Mams melakukan berbagai keajaiban demi menciptakan lingkungan terbaik bagi tumbuh kembang si kecil. Salah satu hal penting yang bekerja diam-diam namun punya peran besar adalah cairan ketuban. Cairan ketuban bukan sekadar “air” biasa, melainkan pelindung alami yang sangat penting bagi janin. Fungsinya mencakup membantu pembentukan paru-paru, menjaga suhu rahim, dan memberi ruang gerak agar si kecil tumbuh optimal. Namun, tahukah Mams bahwa dalam kondisi tertentu, jumlah cairan ketuban bisa menurun drastis dan berisiko mengganggu perkembangan janin?
Kondisi ini dikenal sebagai oligohidramnion, yaitu saat volume air ketuban terlalu sedikit dibandingkan seharusnya. Yang membuatnya cukup mengkhawatirkan, oligohidramnion sering kali tidak menunjukkan gejala apa pun dan baru terdeteksi lewat pemeriksaan rutin seperti USG. Jika tidak dikenali sejak awal, kondisi ini bisa meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan janin, kelahiran prematur, bahkan komplikasi saat persalinan. Yuk, Mams, pelajari lebih lanjut tentang penyebab, dampak, dan cara mendeteksi oligohidramnion agar kehamilan tetap aman hingga waktu persalinan tiba.
Apa Itu Oligohidramnion?
Secara medis, oligohidramnion adalah kondisi di mana indeks cairan ketuban atau Amniotic Fluid Index (AFI) kurang dari 5 cm, atau saku terdalam ketuban (Single Deepest Pocket) kurang dari 2 cm. Cairan ketuban sendiri mulai terbentuk sejak awal kehamilan, awalnya berasal dari cairan tubuh Ibu yang disaring oleh plasenta. Memasuki trimester kedua, urin janin menjadi sumber utama cairan ketuban.
Fungsi cairan ketuban sangat vital, Mams. Selain melindungi janin, cairan ini juga mendukung pembentukan paru-paru, menjaga suhu rahim tetap stabil, dan memberi ruang gerak agar otot serta tulang janin berkembang optimal. Jika volumenya menurun, janin akan mengalami tekanan dari dinding rahim yang bisa mengganggu perkembangan organ dalam, terutama paru-paru.
Oligohidramnion bisa terjadi kapan saja, namun paling sering terdeteksi di trimester akhir, khususnya jika kehamilan melewati 40 minggu. Saat plasenta mulai menua, kemampuannya menyuplai oksigen dan nutrisi ikut menurun, yang akhirnya mengurangi produksi urin janin. Oleh karena itu, pemantauan lewat USG menjadi langkah penting, terutama saat usia kehamilan mendekati atau melewati HPL (Hari Perkiraan Lahir).
Apa Saja Penyebab Oligohidramnion?
Salah satu penyebab utama oligohidramnion adalah pecah ketuban dini atau Premature Rupture of Membranes (PROM). Dalam kasus ini, cairan ketuban bocor dan keluar sebelum waktunya, bahkan tanpa disadari oleh Ibu karena kebocorannya bisa sangat halus. Kebocoran ini sering kali terkait dengan infeksi atau adanya prosedur medis tertentu sebelumnya.
Selain itu, fungsi plasenta yang tidak optimal, yang dikenal sebagai insufisiensi plasenta, juga menjadi faktor penting. Jika suplai oksigen dan nutrisi ke janin terganggu, produksi urin pun ikut berkurang. Hal ini sering ditemukan pada Ibu hamil dengan kondisi seperti hipertensi, preeklampsia, atau diabetes. Kehamilan yang melewati waktu juga bisa membuat plasenta “menua”, dan ini meningkatkan risiko oligohidramnion.
Pada beberapa kasus, penyebabnya berasal dari janin itu sendiri, seperti kelainan ginjal atau saluran kemih. Misalnya, janin yang tidak memiliki ginjal (agenesis ginjal bilateral) atau mengalami sumbatan di saluran kemih tidak bisa memproduksi urin dalam jumlah normal. Penggunaan obat-obatan tertentu seperti ACE inhibitor dan NSAID juga dapat memengaruhi fungsi ginjal janin. Pada kehamilan kembar, kondisi seperti Twin-to-Twin Transfusion Syndrome (TTTS) bisa menyebabkan ketidakseimbangan cairan antar janin, sehingga salah satunya mengalami kekurangan cairan ketuban.
Apa Dampak dari Air Ketuban yang Terlalu Sedikit?
Cairan ketuban berperan penting dalam perkembangan paru-paru janin. Jika jumlahnya terlalu sedikit, janin bisa mengalami pulmonary hypoplasia, yakni paru-paru tidak berkembang sempurna. Ini karena janin menelan cairan ketuban sebagai bagian dari proses “latihan bernapas”. Kekurangan cairan mengganggu proses tersebut, sehingga saat lahir, bayi bisa mengalami kesulitan bernapas.
Risiko lain yang tak kalah serius adalah tekanan fisik pada tubuh janin akibat ruang gerak yang terbatas. Kondisi ini bisa menyebabkan bentuk tubuh janin menjadi tidak normal, seperti kaki bengkok atau wajah gepeng, yang dikenal sebagai Potter sequence. Selain itu, tali pusat yang seharusnya bebas mengapung di dalam rahim dapat tertekan, terjepit, atau terlilit, sehingga menghambat suplai oksigen ke janin.
Jika tidak ditangani tepat waktu, oligohidramnion adalah kondisi yang dapat menyebabkan bayi lahir prematur, memiliki berat badan rendah, hingga meningkatkan risiko kematian perinatal. Penelitian dari Cureus juga menunjukkan bahwa bayi dari Ibu dengan oligohidramnion lebih sering membutuhkan perawatan intensif di NICU dan bantuan pernapasan segera setelah lahir. Oleh karena itu, pemantauan kehamilan secara berkala sangat dianjurkan agar risiko-risiko ini bisa ditekan sedini mungkin.
Bagaimana Mendeteksi Oligohidramnion dan Bedanya dengan Polihidramnion?
Diagnosis oligohidramnion dilakukan melalui pemeriksaan USG, di mana dokter akan mengukur volume cairan ketuban menggunakan metode AFI atau Single Deepest Pocket. Bila nilainya di bawah normal, maka diagnosis ditegakkan. Pemeriksaan ini menjadi standar di trimester kedua dan ketiga, terutama jika ada faktor risiko atau gejala tertentu.
Meski sering kali tanpa gejala jelas, Mams tetap bisa waspada terhadap tanda-tanda mencurigakan. Misalnya, gerakan janin yang berkurang atau ukuran perut yang tampak lebih kecil dari usia kehamilan seharusnya. Selain itu, keluarnya cairan dari vagina yang tidak biasa juga bisa menjadi sinyal bahwa ketuban bocor. Jika mengalami hal-hal tersebut, jangan ragu untuk segera memeriksakan diri.
Sebagai tambahan informasi, oligohidramnion adalah kebalikan dari polihidramnion, kondisi saat cairan ketuban justru berlebihan. Polihidramnion biasanya berkaitan dengan diabetes gestasional atau gangguan pencernaan pada janin. Meski berbeda, keduanya sama-sama membutuhkan pemantauan medis karena dapat meningkatkan risiko komplikasi persalinan. Dengan pemeriksaan rutin dan deteksi dini, Ibu bisa lebih tenang menjalani kehamilan.
A Word From Navila
Cairan ketuban mungkin tidak terlihat, tapi dampaknya sangat nyata bagi keselamatan dan perkembangan janin. Oligohidramnion bukan kondisi yang bisa dianggap sepele, karena bisa menimbulkan konsekuensi jangka panjang jika tak ditangani dengan baik. Mams perlu peka terhadap tanda-tanda perubahan selama kehamilan, termasuk gerakan janin yang berkurang atau ukuran perut yang tak sesuai usia kehamilan.
Kabar baiknya, kondisi ini dapat diketahui lebih awal lewat pemeriksaan rutin dan bisa ditangani dengan pemantauan medis yang tepat serta dukungan nutrisi yang mencukupi. Asupan gizi dan cairan harian yang memadai dapat membantu menjaga kestabilan produksi air ketuban. Yuk, Mams, pelajari lebih lanjut kebutuhan gizi sesuai trimester kehamilan untuk menjaga kesehatan Ibu dan janin selama masa kehamilan di sini: Kebutuhan Nutrisi Ibu Hamil Trimester 1, 2, dan 3.
References
- Sawant, A. A., Wankhede, S., Thakare, S., Narayan, G. N., Saha, I., Vernekar, A., … & Deshmukh, R. S. (2025). Maternal and Perinatal Outcomes in Oligohydramnios: A Cross-Sectional Analysis of Pregnancies Between 28 to 42 Weeks of Gestation. Cureus, 17(2).
- Hebbar, S., Rai, L., Adiga, P., & Guruvare, S. (2015). Reference ranges of amniotic fluid index in late third trimester of pregnancy: what should the optimal interval between two ultrasound examinations be?. Journal of pregnancy, 2015(1), 319204.
- Balogun, O. A., Sibai, B. M., Pedroza, C., Blackwell, S. C., Barrett, T. L., & Chauhan, S. P. (2018). Serial third-trimester ultrasonography compared with routine care in uncomplicated pregnancies: a randomized controlled trial. Obstetrics & Gynecology, 132(6), 1358-1367.
- Children’s Hospital of Philadelphia. Amniotic Fluid Problems/Hydramnios/Oligohydramnios. Retrieved from https://www.chop.edu/conditions-diseases/amniotic-fluid-problemshydramniosoligohydramnios
- Mohammed, S. S., & Ahmed, A. A. (2024). Prevalence rate, probable causes, and perinatal outcomes in women with oligohydramnios in labor. Cureus, 16(5).
- Borse, V., & Shanks, A. L. (2020). Twin-to-twin transfusion syndrome. https://europepmc.org/books/nbk563133